Tawa yang Memaksaku Pulang

17 3 14
                                    

Apa yang akan kalian pikirkan saat mendengar kata 'desa'? Tentu terbayang tempat yang sejuk, indah, bebas polusi, dan lokasi yang pas untuk menenangkan diri.

Pikiran kalian sama denganku. Maka dari itu, saat seorang sahabat, Alfi namanya, mengajakku liburan ke desa, tentu saja tak kutolak.

Jam tujuh tepat, aku, Alfi dan Lila, tiga cewek SMA ini sudah berdiri siaga di stasiun kereta api. Menunggu kedatangan ular besi tersebut.

Perjalanan ke desa, tepatnya rumah Pakdhe dan Budhe Alfi cukup lama.  Sekitar tiga jam. Selama itu, mata dimanjakan pemandangan hijau sawah dan ladang. Petani yang menanam padi, sungai-sungai yang mengalir sepanjang perjalanan, kerbau di lapangan, rumah penduduk berhimpitan di tepi rel. Semuanya khas Indonesia.

Jam sebelas, menjelang siang,  kami tiba di stasiun tujuan. Udara segar menyapa indra penciuman. Kukira,  kami akan berjalan kaki.  Namun,  ternyata ada tiga motor menjemput,  ternyata mereka tukang ojek yang disuruh Pakdhe Alfi untuk menjemput.

Kami masuk ke pedesaan yang asri.  Hingga motor berhenti tepat di pinggir sungai besar, tenang tak berarus. Sebuah sampan tak terlalu besar tertambat di tepian.

Antara ragu dan penasaran,  aku naik ke sampan diikuti Alfi dan Lila. Perlahan, bapak pengemudi sampan menarik tali panjang di atas sampan yang menghubungkan daratan di seberang.

Sambil menggenggam tangan yang berkeringat dingin, kurapal doa sebanyak-banyaknya, berharap benda kecil ini mampu mengarungi sungai lebar berair cokelat dan terlihat dalam ini.

Lima menit yang bikin napas senin kamis akhirnya terlalui. Sampan sampai di seberang. Setelah mendaki,  kami tiba di kampung Pakdhe. Sebuah tempat yang asri. Rumah besar yang hanya ditempati Pakdhe dan Budhe,  mereka tak punya anak. Sawah di sebelah kanan rumah. Lahan kosong di kiri. Hutan jati di belakang, dan halaman luas di depan rumah. Luasnya bisa dipakai parkir sepuluh mobil berjajar.

Senja merona indah dilihat dari pinggir sawah. Kupikir, liburan kali ini bakalan menyenangkan. Namun,  siapa sangka, ketika matahari sempurna hilang, kisah ini baru dimulai.

Mungkin, kalian yang hidup di zaman milenial ini, akan berkata kisahku semacam urban legend. Mitos atau apa pun sebutannya.

Pakdhe dan Budhe punya warung kecil di depan teras. Ingat, teras di sini luasnya seperti yang kusebutkan tadi.  Berarti letak kedai jaraknya sepuluh jajaran mobil dari rumah utama.

Warung kopi Pakdhe buka setelah adzan magrib sampai menjelang pagi. Setelah kedai tutup, itu sekitar jam 2 pagi, maka Pakdhe dan Budhe akan langsung tidur di situ, tanpa perlu pulang ke rumah utama.

Fix, kami bertiga ditinggal di rumah utama. Sebuah kasur ukuran king atau anggap saja ranjang paling besar diletakkan di ruang tamu, pas samping tembok, tempat tidur kami bertiga.

Cewek-cewek tentu saja nggak akan bisa diam kalau sudah ngumpul.  Akan ada saja yang dibahas, dan pasti nggak jauh-jauh dari cogan, gosip artis, atau gosipin teman. Setelah habis bahan obrolan, kami sama-sama diam. Menarik selimut dan memandang langit-langit.

Kami tidur berjajar di satu ranjang luas. Ketika Alfi dan Lila sudah terlelap, aku masih diam menatap langit-langit. Memperhatikan dekorasi rumah bergaya kuno milik Pakdhe.

Atap rumah masih tanpa plafon, sehingga terlihat langsung gentingnya. Kayu penyangga ada di empat sisi bagian ruang tamu. Sudutnya dihiasi ukiran kayu rumit.

Aku terlonjak saat pintu depan berkeriut dan terbuka. Hawa dingin merangsek masuk. Kuberanikan diri menoleh, dan ...

"Nduk, durung turu ta? Belum tidur?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KUMPULAN KARYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang