"Itu mata udah kayak zombi aja." Adalah sapaan pertama yang Endra katakan pagi ini. Yah, wajar saja, sih, semalam memang Aksa nyaris tidak bisa tidur. Tadi juga dia enggan melihat kaca, takut dengan pantulan dirinya sendiri yang entah sudah terlihat seperti apa. Pasti sangat menyedihkan. "Jangan bilang semaleman kerja tugas sampe lupa tidur?"
Aksa tersenyum tipis. "Anggap aja gitu," jawab Aksa seadanya.
"Sinting!" seru Endra tiba-tiba, nyaris membuat telinga Aksa budeg dalam sekejap. "Lo ngejar cum laude sih boleh, tapi inget kesehatan juga. Bisa-bisa mati duluan sebelum dapet gelar S.E."
Aksa menggumam tidak jelas, enggan menjawab. Sudah sangat terbiasa dengan kalimat-kalimat tanpa mikirnya Endra. Terlalu sering mendengar omong kosong ternyata bisa kebal juga.
Coba laki-laki itu tahu kalau Aksa punya alasan lain kenapa sampai tidak tidur semalaman. Sembilan puluh persen reaksi Endra pasti berbeda, ibarat langit dan bumi, bulan dan matahari, keju dan singkong rebus. Tapi Aksa menolak menyebutkannya, sih. Bisa ditebak bagaimana hebohnya makhluk setengah waras ini nanti.
"Minggir dulu," kata Aksa, menggeser tubuh Endra yang menghalangi jalan. "Gue mau tiduran sebentar." Rasanya kedua mata Aksa masih sangat lengket, seperti ada lem super yang memaksa kelopaknya menyatu. Aksa menyambut bangkunya penuh suka cita, langsung menelungkupkan tangan di meja, menyembunyikan wajah di baliknya. Dia butuh tidur, beberapa menit saja juga cukup.
"Pak Dudung bentar lagi dateng, Sa. Bisa didepak dari kelas kalau ketahuan tidur."
Aksa nyaris mengomel. Endra ini kapan pintarnya, ya? Helaan napas panjang dari balik tangan terdengar. "Nanti bangunin pas orangnya masuk." Begitu saja masa harus dijelaskan? Anak SD saja pasti tahu. Ini mahasiswa kok tidak ada paham-pahamnya.
"Gak, deh. Gue mau lihat mahasiswa kesayangan Pak Dudung dihukum." Aksa hanya bergumam lirih, malas meladeni.
Terserah! Hanya orang ajaib yang bisa nyambung mengobrol dengan Endra. Dan Aksa jelas tidak akan masuk ke golongan yang seperti itu. Jangan sampai menjadi satu spesies dengan makhluk antik bernama Endra. Aksa tidak mau masuk museum!
Baru saja mimpi akan menarik kesadaran Aksa, getar ponsel di saku celana membuatnya kembali membuka mata. Dengan sisa energi yang pas-pasan, dia menarik ponsel keluar. Masih dengan dagu menumpu meja, Aksa mengecek pesan yang masuk.
Keysa: Hari ini lo kelas pagi kan? Bubaran gue tunggu di kantin, ya.
Badan Aksa mendadak menegak. Mengulang-ulang pesan masuk beberapa detik lalu sampai dia hapal di luar kepala.
Bayangkan, saat tengah ngantuk berat, tiba-tiba orang usil datang dan sengaja mengejutkanmu yang setengah tertidur—seribu persen itu kerjaan Endra. Bagaimana rasanya? Kesal, bercampur marah dan jengkel. Tapi yang terpenting, kantuk seperti terserap habis, lenyap entah ke mana.
Begitulah yang Aksa rasakan sekarang. Meski bukan jengkel yang mengusir jauh kantuknya. Karena sekarang, badannya serasa diguyur seember air es. Dinginnya membekukan tulang, membuat badannya gemetaran karena gigil.
Perasaan seperti itu, apa ya namanya?
Aksa sendiri tidak paham kenapa dia merasa seperti ini hanya karena pesan Keysa. Pesan yang sama, yang membuat Aksa terjaga semalaman.
Kalau nggak keberatan, besok mau makan bareng, gak? Gue traktir, sebagai permintaan maaf.
Tidak terpikirkan di kepala Aksa, akan ada cewek, Keysa tepatnya, yang mengajaknya makan bareng. Ini Aksa, dengan Keysa, loh. Keysa yang itu. Iya, Keysa yang punya nilai 90.
Memangnya mungkin, ya? Dia saja sudah lupa bagaimana membalas pesan Keysa semalam. Apakah Aksa mengiakan? Kalau tidak, mana mungkin Keysa mengirimi pesan ini, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Love, Bitter Laugh
Ficção AdolescenteCinta itu aneh. Seringnya lucu, malah. Banyak orang berlomba-lomba membuktikan cinta mereka lebih besar daripada yang lain. Tapi, di situ anehnya, pikir Aksa. Kenapa sampai harus membelikan ini-itu yang terlalu berlebihan, hanya untuk pasangan? Samp...