Ketika Hujan Turun

18 0 2
                                    


Apa yang kau bayangkan ketika tengah memandang hujan dari salah satu sudut kota?

Sebagian orang mampu menembus gambaran tentang hujan, menjadikannya kepingan-kepingan memori tua yang asyik mempermainkan pikiran. Sebagian akan asyik memikirkan betapa nikmatnya menyantap mie ayam berserta teh hangat. Tak sedikit ibu-ibu yang mulai menggalaukan cucian yang belum kering, atau sekadar bergegas ngopi manis di teras rumah tetangga sambil bergosip ria. Macam-macam kegiatan bisa terdistraksi oleh serbuan air dari langit.

Pun dengan yang dilakukan Aris.

Berdiri di halte bis sendirian, memandang motor matic merah yang sedang mandi gratisan, sambil sesekali menyesap rokok yang terselip di antara jemari. Pemuda itu menggerutu. Dalam hati, Aris menyalahkan dirinya yang lupa membawa jas hujan karena memang cuaca belakangan sedang terik. Jadilah mau tak mau ia harus berteduh sampai hujan mereda. Daripada ransel berisi makalah-makalah yang dipinjam dari kampus harus basah.

Setidaknya satu-dua batang rokok akan mampu menghangatkan tubuhnya.

Aris bukan tipikal orang yang akan berubah melankolis ketika sendirian dikepung hujan. Oh, memangnya dia laki-laki yang gampang baperan? Say, no no lah~ Pikirannya justru sibuk dengan tugas skripsi yang tengah ia rampungkan. Sama seperti mahasiswa semester akhir kebanyakan yang 100% akan dilanda stres kalau sudah berkenalan dengan hal yang satu ini.

Di tengah riuhnya suara gemuruh hujan dan sedu sedan kendaraan, Aris mendengar ponselnya berdering beberapa kali. Melodi notifikasi dari whatsapp.

Rokok yang hampir habis itu ia buang ke aspal, lalu diinjak agar baranya mati. Aris mengusap wajahnya yang terkena sedikit tetesan air hujan lalu mengambil ponsel dari saku jaketnya. Satu nama seorang terpampang jelas di layar. Nama yang menciptakan ekspresi jengah tercipta di wajahnya
'Pacarnya Boboho'.

Wait, jangan tertawa! Kamu nggak salah baca, kok.

Aris pun membuka pesan yang tertera.

'Kamu lagi dimana?
Sudah makan siang?
Hujan, nih. Kamu bawa jas hujan nggak?
Aku mau ngomong penting sama kamu.
Kamu salah paham.
Aku dan Hendra serius ga ada hubungan apa-apa.
Plis, ayo kita bicara.'

Segera Aris memasukan lagi sang gawai tanpa ada niat membalas pesan ‘pacarnya Boboho' tersebut. Padahal tadi ia sedang asyik memikirkan skripsi, sekarang ia malah kembali teringat insiden yang terjadi minggu lalu.

Jadi sebal.

Satu batang rokok lagi mungkin bisa menghapus rasa kesalnya.

Baru saja Aris hendak mengeluarkan rokok dari kotak, gerakannya terhenti ketika seorang anak kecil lari ke arah halte. Ekor mata Aris memperhatikan bocah laki-laki yang sudah basah kuyup tersebut. Dari pakaiannya yang lusuh dan tas kain yang dikalungkan di pundak, Aris menyimpulkan bahwa bocah ini mungkin seorang pengamen jalanan. Atau juga pengemis. Atau gelandangan. Semacam itu pokoknya.

Anak itu sibuk meniriskan air dari ujung rambutnya yang memerah karena terlalu lama terkena matahari. Ujung kaosnya diperas. Lalu ia membuka tasnya, membuat Aris melihat beberapa lembar koran terlipat rapi di dalam plastik agar tidak basah. Mengetahui isi tasnya selamat dari air, anak itu tampak menepuk tangannya lega. Kepalanya mengintip ke balik atap halte, tangannya menengadah, membiarkan air hujan tertampung. Bocah itu tampak ekspresif seperti anak kecil kebanyakan. Aris bisa melihat senyum terkembang di wajahnya yang berkulit coklat.

Kedua kaki tanpa alas itu dihentak dua kali, anak kecil tersebut menarik nafas panjang.

“Satu, dua....” mulai menghitung, “tiga!” Saat yang bersamaan, ia langsung berlari keluar dari halte. Rintik hujan yang masih deras kembali menerjang tubuh kurusnya. Namun ia justru tertawa lepas. Anak kecil itu berlari riang meninggalkan Aris yang sudah lupa dengan rokok yang batal diambilnya.

Aris tertegun sejenak.

Setelah anak itu terlalu jauh untuk diperhatikan, kini mata Aris memandang langit yang masih gelap. Pikirannya melayang ke masa kecil ketika ia masih bisa tertawa begitu lepas sambil menikmati hujan.

“Kapan terakhir aku main hujan-hujanan, ya?”

Rasa rindu menelisik dada. Aris bergegas mengambil rokok, menyalakan dan menghisapnya kuat-kuat. Asap putih mengepul di udara, mencipta jejak hangat di tubuhnya.

Ternyata Aris bisa kangen juga dengan masa kanak-kanaknya. Ah, dasar hujan memang tidak pernah gagal membuat siapapun bernostalgia.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja Di Mata MusaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang