Aku melepas kacamataku dan memundurkan kursi sedikit agak menjauh dari layar monitor. Entah sudah berapa lama aku berkutat dengan pekerjaanku, yang pasti cangkir kopi di sebelahku sudah mengering sedari tadi dan leherku terasa pegal. Dan entah sudah berapa kali aku melemaskan otot leherku namun pegalnya tidak juga hilang. Malah semakin berat saja rasanya.
Kurebahkan diriku di tempat tidur selama beberapa menit untuk beristirahat, agar tubuhku terasa lebih rileks. Namun pegal di sekitar leher dan pundakku masih saja terasa. Bahkan balsem yang kuoles di bagian tubuh itu tidak juga berpengaruh. Kuusap leher belakangku sekali lagi dan menghela nafas. Pegal ini bukan pegal biasa. Rasanya seperti menahan beban berat.
Aku terlonjak, seperti teringat sesuatu. Aku menuju cermin dan kupandangi pantulanku, terutama ke arah belakang pundakku. Untuk beberapa saat lamanya aku diam, hanya memandang cermin.
Angin halus seakan meniup tengkukku.
“Abi?” bisikku pelan.
Ruangan semakin terasa dingin. Tapi aku tahu ini bukan karena pendingin udara. Aku tersenyum memandang pantulanku.
“Kamu datang, Sayang...” aku menyambutnya. “Tapi kan Mama sudah pernah bilang... Kalo kamu berkunjung ke sini, jangan langsung nempel di pundak Mama, dong. Berat, tauuu…?!” aku pura-pura merajuk.
Dari pantulan cermin sesosok tubuh mungil semakin jelas terlihat. Ia memelukku dari belakang. Tangannya melingkari leherku, kepalanya menggelayut manja di pundak, dan kaki kecilnya menggapit pinggangku. Pantas saja aku merasa berat.
“Ayo turun, Sayang...”
Perlahan ia melepaskan pelukannya dariku dan merosot turun. Rasa pegal tadi hilang seketika.
Sekarang sosok bocah lelaki itu kini ada di sampingku. Memeluk pinggangku. Aku tersenyum dan balas memeluknya.
“Selamat ulang tahun, Sayang... Maaf ya, mama dan papa belum sempat mengunjungi kamu. Mama dan papa lagi sibuk sekali. Mama janji, minggu depan kami akan berkunjung. Mama juga akan bawa kado,” kataku sambil mengelus rambutnya.
Ia melepaskan pelukannya dan mulai berlarian di seantero rumah sambil tertawa senang. Dari ruang kerjaku, ke ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar, lalu kembali ke ruangan ini. Tawa kecilnya membahana dan terdengar menggemaskan. Aku ikut tertawa melihat kelincahannya.
“Sayang, kamu ngomong sama siapa?” tanya Reza, suamiku, yang tiba-tiba ada di belakangku. Aku tidak menyadarinya datang karena terlalu asik memperhatikan tingkah bocah di depanku. Wajahnya terlihat heran melihatku.
“Sama Abi,” jawabku ringan. Senyum masih menghias wajahku sambil menunjuk ke sudut ruangan, tempat bocah itu berada, melompat-lompat girang.
“Abi?”
“Iya, Abi.”
Reza terdiam.
Aku melanjutkan, “Dia mengunjungi kita karena kita udah cukup lama nggak ke makamnya. Apalagi hari ini dia ulang tahun.”
Reza memeluk pundakku dengan penuh kelembutan. Aku merasa nyaman berada di pelukannya, seperti biasa.
“Kamu nggak bisa terus-terusan begini, Sayang...” ujarnya hati-hati. Ada nada keprihatinan di suaranya. Aku sangat mengerti kenapa ia terdengar begitu khawatir. Pasti karena Abi.
“Nggak bisa terus-terusan begini bagaimana? Kamu pikir aku mengkhayal? Abi benar-benar datang, Sayang. Dia ada di sini sekarang. Lihat, dia lucu sekali. Dari tadi dia lari-lari dan lompat-lompatan terus. Sekarang dia lagi joget-joget.”
Reza menghela nafas.
“Kamu masih nggak bisa lihat dia, ya?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya. Pandanganku terus mengikuti gerakan bocah kecil yang kini sedang menggoyangkan pinggulnya di atas meja. Aku menunjuk ke arah di mana Abi berada meski tahu kalau Reza tidak bisa melihatnya. Entah mengapa hanya aku yang dapat melihat bocah itu setiap kali ia mengunjungi kami.
Abi adalah anak kami yang masih berumur 2 tahun. Ia adalah anak yang lucu, lincah, dan cerdas.
Suatu hari ia menangis hebat karena matanya sakit. Matanya terlihat menonjol dan berwarna kemerahan. Kami bawa ke dokter dan minta ia di-rontgen. Alangkah terkejutnya ketika diketahui ternyata ada tumor di mata Abi. Untuk itu Abi harus dioperasi, agar tumornya bisa diangkat, dan ia tidak merasakan sakit yang luar biasa lagi.
Selama seminggu Abi dirawat di rumah sakit untuk persiapan operasi. Rambutnya yang tebal terpaksa dicukur habis. Meski begitu ia tetap ceria, terutama bila menerima hadiah mainan dari tamu-tamu yang mengunjunginya.
Tiba saatnya Abi dioperasi. Aku berdoa terus menerus agar operasinya berjalan lancar. Sangat sedih melihat anak sekecil itu harus mengalami penderitaan yang tidak semestinya ia alami. Jika bisa, aku rela menggantikan posisinya.
Operasi yang dijalani Abi sukses. Tumor sebesar buah kedondong berhasil diangkat dari matanya. Namun setelah menjalani operasi, kondisi Abi melemah. Semakin hari ia semakin lemah. Sampai akhirnya ia meninggalkan kami untuk selamanya.
Hatiku hancur berantakan ditinggal buah hatiku. Tangisku pecah, tak pernah berhenti memandang jasad kecilnya yang terbujur kaku, hingga akhirnya ia dimakamkan. Aku tidak rela.
Orang tua seharusnya tidak menguburkan anaknya!
Setiap minggu kami mengunjungi makamnya dan memanjatkan doa. Dengan cara itulah aku akhirnya bisa ikhlas menerima kenyataan bahwa Abi sudah tidak ada. Namun ia akan tetap ada di hatiku. Di hati kami, orang tuanya.
Dua bulan belakangan ini kami disibukkan oleh pekerjaan kami masing-masing, hingga kami tidak sempat mengunjungi makamnya.
Dan malam ini, untuk ke sekian kalinya Abi datang mengunjungi kami. Aku senang Abi kembali ke rumah dan bermain bersamaku. Namun sepertinya tidak dengan Reza. Setiap kali Abi datang, ia seperti kurang bisa menerima kehadiran anak itu. Mungkin karena ia tidak bisa melihatnya, tidak sepertiku yang bisa melihat dan berkomunikasi dengannya.
“Sayang...” Reza merengkuh kepalaku dan menatapku dalam-dalam. “Tatap mataku. Abi itu nggak ada...”
Aku tersenyum menatap matanya, “Iya, Sayang... Aku tahu... Abi udah nggak ada. Aku udah bisa nerima kepergiannya. Tapi sekarang dia ada di sini...”
Reza menggeleng halus.
“Kamu nggak bisa lihat dia, sih.. Dia sudah besar... Sudah 3 tahun.” aku bersikeras namun tetap tersenyum.
Air muka Reza bertambah murung. Terlihat begitu prihatin.
“Sayang... kita nggak pernah punya Abi... Anak kita nggak pernah lahir. Kamu keguguran waktu hamil 4 bulan, Sayang. Kamu ingat? Dan itu terjadi 3 tahun lalu...” Reza memelukku lebih erat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pati Agni - Antologi Ajal
HorrorBahwa semua makhluk hidup akan mati, dalam keadaan siap atau tidak, sang maut akan menghampiri kita semua. Beberapa orang mengalami kematian yang wajar, tapi banyak juga orang yang mengalami kematian tak wajar. Pati Agni, dalam Bahasa Sansekerta ber...