Sahabat Terbaik

5 0 0
                                    

"Selama aku memikirkanmu, selama itu pula aku tak pernah berhenti menyebut namamu dalam doaku." --Ara

--------------------------------------------------

"Masih?"

Rana membuyarkan lamunan Ara. Membuat Ara terkejut dan hampir menumpahkan isi gelas di depannya.

Ara semakin salah tingkah. Tak sedikitpun dia menanggapi pertanyaan sahabatnya itu.

"Udah deh. Aku kenal kamu bukan kemarin sore. Gak usah gugup gitu kalau memang masih memikirkan dia."

"Apaan sih, Ran?" Ara masih bergeming.

"Ntar malem aja kamu curhat. Aku tahu lagi ada yang kamu pikirin kan? Itu email dari tadi pesannya gak jadi diketik-ketik?"

Ara baru tersadar. Mungkin memang sudah agak lama dia melamun di depan komputernya. Ada sesuatu yang membuatnya kalut hari itu sampai-sampai tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya.

Mau izin pulang tapi gak mungkin. Karena memang gak ada alasan masuk akal. Tidak mungkin dia izin pulang hanya gara-gara galau dan tidak mungkin juga dia berbohong sama atasannya. Salah-salah bisa dinilai gak profesional nanti.

"Mbak Ara, minta tanda tangan!"

"Mbak?"

"Mbak ngelamun?"

Lagi-lagi Ara masih belum selesai dengan lamunannya. Hari itu benar-benar sulit bagi dia untuk fokus dengan kerjaan.

"Oh iya, maaf!"

"Salah mbak! Bubuhin tanda tangannya bukan di situ."

"Oh iya, sekali lagi maaf ya Lin!"

"Mbak Ara sakit ya? Izin pulang aja!

Ara pun mengambil cermin kecilnya dan memperhatikan apakah wajahnya terlihat pucat sampai-sampai Lina mengatakan kalau dia sakit. Tapi, Ara merasa wajahnya gak terlihat pucat sama sekali. Hanya terlihat sedikit kantong mata hitam karena dia sering tidur larut malam.

" Ah, mungkin karena aku tadi melamun saja." pikir Ara.

"Tapi, aku gak bisa begini terus. Aku harus segera menumpahkan cerita ini ke Rana."

Ara bergegas masuk ke ruangan Rana. Di ruang desain itu Rana tampak masih sangat sibuk dengan pekerjaan dan sampel-sampelnya. Ara sungkan mau mengganggu. Tapi dia tidak bisa membiarkan pikirannya terus-menerus mengganggu konsentrasi pekerjaannya. 

"Ran, nanti lunch aja ya aku ceritanya!"

"Kenapa? Udah gak sanggup mendem semuanya?"

Jawab Rana sambil terus mengotak-atik aplikasi desain di komputernya. Ara hanya mengangguk. 

"Ya udah nanti kita makan di Kafe Numero aja ya. Jangan makan di dekat kantor, banyak orang. Takut banyak yang nguping," kata Rana sambil tersenyum simpul. 

"Mbak Ara, tumbenan ke ruang desain? Gajian mau dimajuin atau gimana mbak?Hehe."

Tina meledek Ara yang memang sangat jarang masuk ke ruang desain. Ara pun hanya menjawab dengan senyuman manisnya. Setelah Ara pergi Tina dan teman-teman di ruangannya malah berbisik-bisik menggosipkan sesuatu. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Message to SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang