Satu

1.7K 134 37
                                    


Kupikir gadis itu sedang melihat seseorang atau sesuatu di belakangku. Rupanya aku salah.

Dia sedang memandangiku.

Aku tidak terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini. Penampilanku standar saja, tidak memesona. Aku juga tidak jenius ataupun pintar olahraga. Jadi ketika aku memergoki gadis itu sedang memandangiku, aku merasa aneh.

Aku belum pernah melihat gadis itu sebelumnya. Wajahnya mungil, hidungnya sedikit lebar dan kedua matanya seperti kebesaran untuk wajahnya. Rambutnya sebahu dan dia memakai topi seperti anak laki-laki. Penampilannya tidak mengesankan. Bukan jenis gadis yang bakal membuatmu selalu mengenangnya. Gadis itu tidak mengenakan seragam sekolah, jadi aku tidak yakin berapa umurnya. Dugaanku kami seumuran.

Gadis itu tersenyum.

Aku tak kenal siapa dia, tapi kubalas senyumnya sekedar untuk sopan santun saja. Kuputuskan untuk segera menyudahi kontak mata kami dan kembali menekuni layar ponselku. Mama beberapa kali mewantiku untuk hati-hati pada tukang hipnotis. Selain itu, kalaupun gadis itu tidak berniat jahat, aku tidak mau dia berpikir aku sedang modus padanya.

Dari ponsel, bisa kulihat ojek online pesananku sudah hampir tiba. Syukurlah. Aku sudah tak sabar ingin menghempaskan diri di kasur.

"Kai!"

Ada yang memanggil. Aku menoleh. Aulia, teman sekelasku, menghampiriku.

"Lo kok pulang? Nggak jadi ikut eskul jurnalistik?"

Aku mengangkat bahu dan memasang tampang letih. "Maaf, Al. Hari ini gue skip dulu, deh. Ngantuk banget, sumpah. Tadi malam gue ngebantuin adik gue ngerjain PR Prakarya sampai larut..."

Aulia sedikit cemberut. "Bu Hera nanyain terus soal artikel utama itu, lho. Katanya beliau mau baca secepatnya."

Aku tahu yang dimaksud Aulia adalah artikel untuk edisi digital pertama majalah jurnalistik sekolah kami yang akan segera terbit. Setelah bertahun-tahun berkarya lewat majalah dinding, akhirnya semester ini eskul jurnalistik memutuskan untuk go digital.

"Sebenarnya gue masih bingung mau menulis apa untuk artikel utamanya."

"Terus gue harus bilang apa ke Bu Hera nanti?"

Sebuah Honda Vario hitam berhenti tepat di depanku. Pengemudinya yang berjaket hitam-hijau membuka kaca helm. "Kai Elian?"

Aku mengangguk. Ojek pesananku telah tiba. "Lo tenang aja. Gue akan nge-WhatsApp Bu Hera. Draft artikelnya akan segera gue susun kalau udah menemukan hal yang betul-betul menarik."

Aulia berdecak dan menyilakanku pulang dengan enggan. Sebelum pergi, kulirik gadis asing tadi. Rupanya dia masih berdiri di tempatnya, kepalanya tertunduk.

Namun tiba-tiba dia mengangkat wajahnya dan pandangan kami bertemu. Gadis itu melepas topinya. Dia sedang menangis.


...


Kuketik tiga kata terakhir itu dengan cepat.

'Penulis: Kai Elian'.

Kalau ada hal yang lumayan menarik tentangku yaitu namaku. Kai berarti laut. Orangtuaku memang suka pada laut. Dulu kami bahkan pernah tinggal di pantai.

Sejujurnya aku kurang yakin tentang draft artikel itu. Tentang infeksi virus Corona. Seluruh media sedang sibuk membahas Corona, rasanya orang-orang tidak akan tertarik membaca hal yang sama berulang kali.

Aku mengacak rambut dengan kesal. Apa yang harus kutulis?

Aku mengecek ponsel. Dari layarnya, aku diingatkan bahwa sisa 14 hari lagi sebelum majalah itu terbit tanggal 28 Februari nanti.

Ada lima pesan WhatsApp baru dari Billy. Dia bertanya mengapa aku tidak muncul di acara ulang tahun Rahayu, teman sekelas kami, sore ini.

Aku menyambar jaket dan bergegas pergi.

The Promise (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang