Kiriman Dari Tuhan

63 16 8
                                    

Yaya

“Kenapa sih, elo nggak pernah mau makan bareng kami?” tanya Wenda ketika melihatku bangkit dari kursi lipat di depannya. “Gue yang traktir, kok,” tambahnya semakin menggatalkan telingaku.

Aku masih mendengkus, belum sempat menjawab, saat Aldi menimpali lebih dulu. “Iya, nih. Sesekali kamu makan bareng kami, kenapa?” Ucapan itu diakhiri anggukan dan tatapan aneh yang kompak dari tujuh orang lainnya.

Setiap hari Minggu aku bersama dua puluh sembilan orang lainnya mengadakan bakti lingkungan. Tugas kami di antaranya membersihkan daerah aliran sungai, menanam pohon, membersihkan tempat-tempat umum, dan berbagai kegiatan lingkungan lainnya.

Kegiatan ini sudah berjalan setahunan. Dari mulai dua orang, sekarang anggotanya berjumlah tiga puluh orang yang terbagi menjadi tiga kelompok.

Aku tersenyum canggung. “Sorry banget. Aku udah ada janji sama editor,” ucapku sembari berjalan menuju sepeda yang terparkir di sebelah motor Atalia.

“Alasan kok sama melulu,” celetuk Raihan diiringi tawa lirih beberapa orang lainnya.

Aku seolah tersadar telah menggunakan alasan itu beberapa kali sebelumnya. Benar kata Yura, otakku memang malas berpikir. “Nanti aku tag kalian di Instastory, deh,” putusku setelah berpikir sejenak.

Meski malas bertemu Yura, aku tidak mungkin membenarkan tuduhan mereka. Positive thinking saja, siapa tahu kali ini Yura mendapat hidayah hingga mau menerima naskahku terdahulu. Jadi aku tidak perlu pusing lagi memikirkan si hero sialan itu.

“Awas kalau bohong,” ancam Dinda yang tentu saja maksudnya bercanda.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan. Setelah menaruh tas di keranjang depan, aku bergegas memutar sepeda dan mengayuhnya cepat. Aku harus kabur sebelum mereka mengejekku lebih lama.

Bukannya tidak mau makan bersama mereka, aku hanya tidak menyukai jenis makanannya. Mereka selalu memilih junk food setiap kali makan bareng.

Sebagai pecinta lingkungan, aku sebisa mungkin menghindari segala hal yang bukan hanya menghasilkan banyak sampah, tapi juga berpengaruh buruk pada tubuh kita, junk food salah satunya.

Enam jam kami membersihkan alam akan sia-sia dengan satu jam makan siang. Setiap aku memperingatkan, mereka selalu berkilah dan bilang ini yang terakhir kali. Selalu saja begitu.

Bukan hanya itu, sebenarnya aku punya beberapa lagi alasan menolak ajakan mereka. Sudah tiga bulan terakhir ini, aku berusaha keras menerapkan clean eating sebagai lifestyle dan berencana menjadi vegetarian.

Karena belum cukup konsisten, aku belum berani mengatakan kepada siapa pun, termasuk mereka. Aku akan mengumumkan segala hal yang sudah kujalani dengan konsisten, setidaknya sudah layak dicontoh orang lain.

I talked what I've walked. Tapi, sepertinya aku harus mengumumkan hal ini lebih cepat, atau mereka akan terus-terusan mengajak dan mengejekku.

Dari volunteering base ini, aku perlu satu jam naik sepeda untuk mencapai rumah Yura. Untuk menghindari kecewa saat sampai di sana, aku menelepon Yura, mengabarkan kedatanganku lebih dulu. Perempuan itu jarang di rumah saat akhir pekan.

Aku menghentikan sepeda, membuka layar ponsel dan memencet nama Editor Julid. “Aku hanya butuh lima menit kamu, Yura Sayang. Cuma perlu bikin dua Instastory bareng. Udah.” Aku mengutarakan niatku kepada Yura. “Setelah itu, kamu boleh pergi dan mengabaikan aku.” Kuakhiri panggilan tanpa menunggu jawabannya.

***
Saat memarkir sepeda di depan garasi, aku melihat Yura keluar dari mobilnya. Tadi, kebetulan gerbangnya terbuka, jadi aku tidak perlu memencet bel. “Just in time,” ujarku dengan napas terengah.

(SA) LIMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang