Don't

859 64 6
                                    

Bermalas-malasan berbaring di sofa. Tangannya tak henti mengusap layar sentuh elektronik persegi panjang itu yang menampilkan beberapa foto dirinya. Alisnya beberapa kali mengernyit.

"Oy.. dahimu mengkerut." Sesosok pria yang baru datang duduk di sandaran sofa. Satu tangannya memegang cangkir kopi panas sedangkan tangan satunya lagi memutar jari telunjuknya di dahi yang mengkerut.

"Kenapa semua orang menyebutku manis?"

"Pfftt... Akui sajalah, Dome." Tersenyum sambil menyeruput kopi panasnya.

"Kau tidak lihat diriku, Pavel?" Dome menurunkan ponsel dari hadapannya menatap tajam pria yang asyik dengan kopinya.

"Pavel..." Panggil Dome lagi. Ia merasa terabaikan.

Pavel melirik sedikit pada Dome yang masih berbaring di sofa. Sepertinya Dome tidak suka komentar foto di media sosialnya yang menyebutnya manis bahkan imut.

"Aku pria dewasa. Ukuran tubuhku besar. Maskulin. Hampir sama sepertimu. Kenapa mereka bilang aku manis bukannya tampan?"

Pavel tersungging. Bukannya itu berarti Dome memuji Pavel tampan secara tidak langsung ya?

"Tapi kau memang terlihat manis, apalagi saat manja seperti ini."

Dome cemberut. Menggembungkan kedua pipinya dengan mulut yang mengerucut. Iya malam ini Dome manis dengan sifat manjanya.

Pavel mengintip ke luar jendela untuk memastikan kembali. Bulan purnama bersinar dengan terangnya.

"Bulannya sangat indah." Kata Pavel.

Dalam literatur Jepang, ungkapan itu bisa berarti sebuah pernyataan perasaan.

"Kau suka?" Tanya Dome.

"Bulannya?" Pavel balik tanya.

"Aku."

Pavel sempat terdiam beberapa saat. Saat Pavel akan menjawab namun Dome kembali melanjutkan.

"Aku yang begini. Apa tidak merepotkanmu?" Dome mendudukkan dirinya sambil menatap Pavel serius. Ah.. tapi sorot matanya tersirat kekhawatiran. Pavel paham maksud Dome. Pavel hanya tersenyum maklum.

"Aku tidak membencinya."

Pavel menyusul Dome untuk duduk di sebelahnya. Cangkir kopi itu ia letakkan di meja.

"Lagipula kau seperti ini hanya sesekali. Malah aku senang karena kopiku tidak terasa pahit melihatmu manis begini."

"Kalau begitu... Aku minta hadiah." Dome mendekatkan dirinya pada Pavel. Matanya menatap Pavel penuh nafsu.

"Tunggu! Dome, Jangan!" Pavel menahan Dome yang bergerak ke arah ceruk lehernya.

"Kenapa?"

Pavel sebenarnya tak tega melihat Dome yang berusaha menahan diri. Tapi mau bagaimana lagi.

"Jangan di leher. Akan terlihat jelas."

"Lalu di mana?"

Pavel kemudian membuka baju kaos lengan pendeknya memperlihatkan tubuh berotot dengan kulit kecoklatan.

"Di pundak. Jamgan terlalu ke atas, jangan pula terlalu ke bawah. Setidaknya tidak terlalu mencolok daripada di leher atau lengan."

"Terserahlah."

Dome langsung menarik leher dan mencengkeram lengan Pavel. Dome mengeluarkan gigi taring dan menancapkannya pada pundak kiri Pavel. Darah yang mengalir segar ia hisap dengan beringas.

Pavel menahan rasa sakit yang dirasakannya. Perlahan tangan kanannya terangkat dan mengelus rambut halus Dome. Tangan kirinya menepuk pelan punggung Dome walau sulit karna tangannya sedikit mati rasa. Seolah berujar untuk tetap tenang jangan terburu-buru bahwa Pavel tidak akan pergi.

Pavel kembali menatap bulan yang bercahaya terang. Entah ia menyukainya atau tidak. Tapi yang Pavel tau ia tidak membencinya.

Dome yang terkenal dengan sifat tenangnya ternyata memiliki rahasia. Ia adalah vampir, makhluk penghisap darah. Seperti manusia pada umumnya, ia tampak seperti manusia biasa. Beraktivitas dan tidak terlihat perbedaanya. Namun hanya satu, yaitu pada malam purnama. Ia akan menjadi orang yang berbeda dan harus minum darah agar tetap hidup.

.
.
.

File "Don't" finish..

Next or end?

Don't Bite MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang