9. Trip and Kiss

24.9K 3.1K 679
                                    

DK

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DK

Kegiatan rutin saya kembali berjalan seperti biasanya. Di senin pagi, Navia telah lebih dulu bangun dan menyiapkan segelas teh tawar hangat yang selalu saya minum. Sepertinya saya kesiangan, tadinya saya punya rencana sholat subuh berjamaah di mesjid Istana tetapi harus batal melakukannya karena saya bangun ketika jarum jam sudah berada di angka lima. Hari ini saya hanya punya satu kegiatan, yaitu bertemu dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi atau PDTT untuk membahas beberapa aduan yang saya dapatkan kemarin sore.

Saya meminta agar kondisi daerah terpencil lebih diperhatikan lagi, terutama daerah yang memang membutuhkan perbaikan dan pembangunan sarana untuk menunjang kegiatan masyarakat sehari-hari. Kalau tidak di-up seperti ini, aliran dana akan pergi entah kemana tanpa menunjukkan hasil yang benar-benar jelas. Hasil pertemuan ini akan langsung dikoordinasikan oleh menteri PDTT kepada pemerintah daerah terkait supaya segera dilakukan perbaikan. Kalau bisa, seluruh Indonesia mestinya mendapatkan pembangunan yang merata karena sama-sama bagian dari Negara.

Sepertinya Deva dan Mahesa sudah bisa bekerjasama dengan baik. Deva sudah mengerti dengan tugas apa yang harus dia lakukan dan mampu mengimbangi kinerja Mahesa dalam waktu yang sangat cepat. Kemampuan melobinya juga hampir persis seperti Navia, dia tahu bagaimana caranya memperlakukan orang dengan baik sehingga orang yang tadinya kesal karena mendapat telepon mendadak darinya bisa berakhir luluh dan memberikan apa yang dia mau. Namanya juga Deva, apa sih yang dia tidak bisa? Bahkan saya sendiri heran kenapa saya bisa punya keponakan sehebat dan seberprestasi Deva Erianto.

"Besok jadi ke Danau Toba, pak?" Seolah sudah menjadi kebiasaannya, Navia membawakan saya segelas susu hangat tepat di jam sembilan malam.

Saya melepas kacamata yang melekat di wajah saya, melihat layar laptop dari pukul enam sore sampai sekarang rupanya cukup membuat mata lelah. "Jadi, kamu udah siap-siap sama apa yang harus dibawa?" tanya saya, menerima gelas susu hangat itu kemudian meminumnya hingga habis setengah.

"Pengennya bawa tenda biar camping disana." Ucapnya ngawur, berkat tidur seranjang kemarin malam, tampaknya Navia sudah tidak canggung lagi meski harus berdekatan bersama saya.

"Jangan norak, besok pertama kalinya kamu go publik, dandan yang cantik biar gak malu-maluin." Tadinya ucapan itu hanya sebatas candaan semata, tetapi sepertinya Navia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang serius.

"Kemarin saya dandan dikata-katain, jelek, kayak ondel-ondel. Saya gak bisa dandan menor, dari dulu enggak bakat meski pengen."

"Ya nggak dandan kayak orang mau nikahan juga kali, Na." Ngobrol sama Navia itu menguras emosi sekali ya ternyata? "Kamu gak dikasih tau Jana emang? Kan kamu punya tim make up sama hair do sendiri, khusus untuk Ibu Negara."

Mulut Navia terbuka lebar, "Hah? Tim make up dan hair do?"

"Emang menurut kamu jadi Ibu Negara boleh berantakan? Boleh mukanya mengkilat karena keringetan? Kamu nanti jadi pusat perhatian, harus selalu cantik." Mestinya sih Navia tidak kaget karena sedari dulu setiap Ibu Negara selalu memiliki make up team dan hair do sendiri. Berhubung saya tidak punya istri sebelumnya, makanya hal ini menjadi sesuatu yang asing di telinga dia. "Kalo mau kamu nanti bisa perawatan, apapun itu saya yang bayar pake uang saya, bukan negara."

RI 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang