Peristiwa ini membawaku pada petaka srampat sandal dan membuat teman saya parno.
Saya tinggal di salah satu desa yang terletak di Kabupaten Blitar. Di desa saya ini terdapat tempat yang terkenal karena kisahnya mengenai tempat perniagaan ghaib. Sebelum saya menceritakan bagian horornya, ijinkan saya untuk sedikit menggambarkan bagaimana tempat ini. Secara mata keduniawian, sekilas tempat ini terlihat sebagai kebun yang tidak terawat. Kebun yang ditumbuhi berbagai macam tumbuhan menjalar dan juga pepohonan salak dengan duri-durinya yang menghadang makhluk hidup yang memasukinya. Pepohonan salak yang dulunya dipersiapkan untuk dipanen guna dijual di pasar yang sungguhan, namun entah kenapa sekarang menjadi pepohonan salak yang tumbuh liar tak terawat. Mungkin karena ada kaitanya dengan nama Pasar Ghaib itu. Selain ditumbuhi pepohonan salak yang tidak terawat, dan tumbuhan-tumbuhan menjalar yang melengkapinya, di kebun ini juga terdapat bambu-bambu yang terlihat tumbuh dengan rapat. Bahkan bila dibayangkan, saking bayak dan rapatnya, seakan bambu-bambu tersebut bisa digunakan untuk bersembunyi genderuwo yang sedang bermain petak umpet dengan kawan-kawan ghaibnya. Diantara pepohonan-pepohonan yang ada, terdapat jalan setapak yang menembus di tengahnya. Jalan tersebut merupakan jalan alternatif yang digunakan untuk pergi ke desa sebelah. Jalur ini digunakan sebagai jalur alternative karena jaraknya yang tidak jauh dibandingkan dengan jalur lainnya.
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, ketika saya berumur sembilan tahunan, awal kali saya mendengar cerita bahwa kebun tersebut merupakan pasar ghaib yang mana digunakan para makhluk-makhluk tak kasat mata berkumpul. Entah untuk bergosip ataupun untuk mendiskusikan bagaimana caranya menggoda iman-iman manusia. Namun ya karena saya anak kecil yang memang sering keluyuran dan tak kenal jijik maupun takut (kecuali dengan emak yang tiba-tiba datang membawa bambu panjang saat saya belum pulang dari main, kalau ini mah nyeremin ehehe) ya saya tidak percaya dengan cerita tersebut. Karena memang belum pernah melihat yang namanya hantu, ya udah otomatis kalau saya tidak percaya ataupun takut.
Tak hanya dari satu dua orang saya mendengar cerita tersebut, bahkan sudah menjadi bahan gosip bagi para ibu-ibu yang belanja di mas-mas sayur etheg.Pernah saya mendengar dari teman saya, sebut saja Ipan, jelas bukan nama aslinya. Dia cerita kalau beberapa waktu lalu ketika ia mau kerumah neneknya di desa sebelah, terpaksa ia harus lewat jalan alternatif itu. Sebenarnya siang hari, namun karena lebatnya dedaunan membuat cahaya matahari sulit masuk. Alhasil menjadikan suasana makin singklu walau masih di siang bolong. Dengan rasa takut ia memberanikan diri, dari pada harus memutar jauh, ia lebih memilih jalur tersebut. Dengan membaca doa-doa yang diajarkan oleh guru ngaji, Ipan berjalan sambil tolah-toleh terlihat bahwa ia tidak tenang. "Ipan" ia mendengar sayup-sayup suara yang memanggilnya, namun karena takut ia hiraukan dan berusaha menangkis bahwa ia tidak mendengar apa-apa. Suara tersebut semakin keras, seakan berada di samping telinganya. Ia seketika berhenti dan semakin cepat membaca doa-doa yang sudah ia hafalkan saat mengaji. Entah doa apapun yang ia hafal. Dengan rasa takut dan sedikit penasaran, ia menoleh kearah suara panggilan tadi, tepatnya di tempat bambu-bambu berdiri. Dari kejauhan Ipan melihat sosok besar dengan mata merah menyala, badannya yang gelap tidak terlalu bisa ia definisikan. Terlihat makhluk besar tersebut melambai-lambai ke arah Ipan. Jika kalian tau boneka Maneki Neko si boneka penarik rezeki, seperti itulah gerakan lambaiannya, seakan makhluk itu sedang melambai agar rezeki datang padanya, yang dimaksud di sini adalah Ipan yang dianggapnya sebagai rezeki, entah untuk teman, ataupun untuk santapan. Sontak hal tersebut membuat Ipan berlari terbirit-birit dengan meneriakkan kata "Emaakkkk." karena ini merupakan cerita dari teman sebaya saya, yang kala itu saya anggap sebagai pendongeng handal, jadi tetap tidak membuat saya percaya, justru saya anggap sebagai cerita hiburan.
Pernah lagi saya dengar cerita, sebut saja Pak Jaenal, tentu bukan nama aslinya. Ia merupakan pedagang di pasar yang mana selalu berangkat ke lapaknya pukul dua dini hari. Singkat cerita Ia melakukan rutinitasnya berangkat ke pasar pukul dua, ia kepasar menggunakan sepeda ontel dan rombong untuk mengangkut barang dagangannya, ketika perjalanan menuju ke pasar. Sesampainya di lokasi terlihat ada beberapa orang yang sedang berdiri lengkap dengan properti pasar yang ada di depan mereka. Pak Jaenal mencari area kosong untuk menggelar tikar yang dijadikan tempat menata dagangannya, Ia menggelar di samping seorang ibu-ibu yang sedang berdiri menghadap sebaliknya Pak Jaenal menghadap. Ibu-ibu tersebut terlihat mengenakan daster putih dengan rambut panjang sepunggung yang diurai, namun hal ini tak membuat Pak Jaenal curiga. "sudah sampai dari jam berapa buk?" Pak Trimo berusaha basa basi namun tak ada jawaban dari ibu-ibu tersebut. Sontak hal tersebut membuat Pak Jaenal terdiam dan sedikit ngeri. Sesuatu terjatuh dari pegangan Ibu-ibu itu dan menggelinding ke arah Pak Trimo. Pak Jaenal mengambilnya dan hendak memberikan ke ibu-ibu tersebut, "buk barangnya jatuh ini." ibu-ibu tersebut menoleh menghadap Pak Jaenal "terimakasih bang" sontak membuat Pak Jaenal terjengkal, bukan wajah cantik yang ia dapati, melainkan wajah rusak dengan penuh darah dan di dalamnya terdapat belatung yang bergerak-gerak. Dengan panik Ia mengucek matanya berharap apa yang ia lihat tak nyata. Bukan nya hilang, justru yang tadinya terlihat seperti orang dan suasana pasar, seketika berubah menjadi kebun dengan dipenuhi makhluk-makhluk ghaib yang menghadap Pak Jaenal. Seketika itu Pak Jaenal lari terbirit-birit dengan meninggalkan rombong dan barang dagangannya.
Suatu ketika, saya dan teman-teman sedang mbolang, bermain diluar, entah apa saja yang dimainkan, yang jelas bukan game Mobile Legend atau Free fire dan sak pinunggale, karena memang gadged belum menyerang kami. Singkat cerita karena kami main jelajah-jelajahan (ceritanya pura-pura seperti Si Bolang), kami tak sadar kalau ternyata kami telah memasuki area yang disebut sebagai pasar ghaib itu. Satu teman kami baru tersadar karena melihat sesuatu dari kejauhan. Sebut saja dia Agus. Ketika asik-asiknya, tiba-tiba Agus diam mematung, semua berhenti dan menanyai agus. Agus menunjuk arah bambu-bambu sambil terbata-bata menyebut kata pocong. Sontak semua menoleh, dan seketika berteriak "Setannnnn" sambil lari terbirit-birit. Saya yang tidak melihat apa-apa, sontak juga ikut berlari, entah mengapa tiba-tiba ikut ketakutan, padahal tidak tahu takut pada apa. Saya tersadar kalau Agus masih terdiam karena tidak bisa berlari, saya langsung kembali dan menariknya yang justru membuatnya tersungkur ke bawah, namun akhirnya bisa membuatnya berlari. Eh ternyata kesialan menimpa saya, ketika saya hendak berlari menyusul Agus yang sudah lari duluan, sandal saya tersangkut pada akar yang mencuat dari tanah, alhasil sandal jepit kesayangan saya putus. Saya berdiri dan berlari dengan mencangkingnya. Setelah lumayan jauh, saya menanyakan pada teman-teman, khususnya Agus, soal apa yg mereka lihat. Dengan kondisi nafas yang masih tersengal-sengal, Agus menyebutkan bahwa ia melihat pocong dengan wajah yang rusak, dan terlihat melotot ke arahnya. Entah mengapa kali ini membuat saya merinding, mungkin memang karena saya berada dekat dengan posisi penampakan yang dilihat teman-teman.
Keesokan harinya Agus sakit demam dan tidak datang ke sekolah. Dari kejadian tersebut saya belajar bahwa kalau mau berlari dari hantu, sandal harus dilepas dan digenggam saja agar tidak terulang lagi kejadian petaka srampat sandal.