Prologue

8 2 0
                                    

Hiks hiks ...

Seseorang tolong dekati dia, beri dia usapan lembut di ubun-ubun, dia membutuhkannya saat ini. Meski hanya satu-dua usapan saja akan menyelamatkan hidupnya. Bukankah dirimu bangga ketika bisa menyelamatkan satu kehidupan, Menjadi super hero untuk satu manusia, yang sampai kapanpun kamu akan ada diingitannya sebagai ... "Dahulu kala ketika aku putus asa ada tangan lembut yang sudah menyembuhkan lukaku, membuatku meraih kehidupan lain yang lebih baik", tidak kah kau menyukainya? Mesti sepele yang kau lakukan tapi bagi gadis ini tangan mungilpun seperti dewa yang sedang mengepakan sayap untuk menjemputnya.

Seseorang tolong dia.

•••

Breking News.

Seorang siswi kelas tiga sekolah menengah atas ditemukan tewas mengenaskan di halaman sekolahnya. Diduga ia melompat dari dak setinggi 4 lantai.

"Raiden, kau tau ini koran tahun berapa? Tinta yang di bagian waktunya sudah pudar. Sepertinya dia frustrasi karena tidak diterima universitas yang diinginnya. Bukankah sangat menyedihkan kehidupan wanita ini."

Anak laki-laki yang dipanggil Raiden itu meletakan kembali setumpuk buku yang dipangkunya. Dia menoleh, mengambil koran lama dari temannya kemudian mengamati garis-garis angka yang nyaris tak terlihat. Ia sangat fokus. "Aku melihat angka 9, 8, 1. Apa mungkin ini koran tahun 1981? Aku tak tahu pasti tapi feelingku bilang begitu. Ehehe aku sungguh tak tahu, hanya menebak."

Gadis itu menggaruk kepalanya seraya merebut kembali koran itu dari Raiden mencoba mencari angka di sana lagi, lagi, dan lagi, hingga tak terasa langit mulai berwarna kekuningan.

Raiden sudah selesai dengan tugasnya. Ruangan yang berisi ratusan map dokumen sudah bersih dari debu. Lelaki itu menghela nafas panjang lalu membuangnya, lega. Dia mengibas-ngibas celana olah raganya yang berdebu. Dia menoleh temannya. Gadis itu masih sibuk dengan sesobek koran usang di sudut ruangan. "Sepenting apa tanggal di koran itu?" Tanyanya.

"Tidak terlalu penting. Tapi aku sangat penasaran. Aku tidak tahu kenapa aku begitu penasaran." Jawabnya lemas sambil kedua matanya terus memperhatikan lalu dia membalik secuil kertas itu. "Raiden, aku menemukan sesuatu," katanya terkejut.

Buru-buru Raiden menghampiri, duduk di sebelah si gadis. Mata lelaki itu mengikuti arah petunjuk temannya.

"Ada sidik jari berwarna merah. Menurutmu lazimkah waktu dulu menggunakan tinta merah untuk sidik jari? Lihat, lihat, tertulis disini ... Aku tidak bisa membacanya, tulisannya sangat kecil, aku tidak membawa kacamataku."

Raiden merebut kertas itu, mencoba membaca sebaris teks yang sangat jelek. Tulisan tangan paling jelek yang pernah ditemui lelaki itu. "Siapapun tolong aku, kunci rumahku ada dalam kotak merah."

Mereka saling menatap heran.

"Kotak warna merah?" Raiden beranjak. Dia mengambil sesuatu dari rak buku yang berjajar. Kotak itu diambilnya dari susunan paling atas hingga ia menggunakan kursi untuk sampai kesana. "Kotak merah." Raiden melemparkan kotak itu.

Gadis itu menangkapnya dengan tangkapan sempurna. Bagaimana tidak, namanya pernah menjadi kandidat perwakilan sekolah untuk olahraga basket puteri, namun sayang dia menolaknya. Baginya tidak perlu dikenal banyak orang untuk lebih berguna. Dia sudah senang menjadi pelatih bagi teman-temannya. Pemain basket yang mungil, begitulah yang orang lain tahu tentangnya. Dia tidak keberatan disebut begitu karena dia sadar bahwa tubuhnya tidak lebih dari 156 cm berbeda dengan teman-teman setimnya. "Bagaimana kamu tahu soal kotak ini?"

"Ahh ... Tadi aku tak sengaja menemukannya saat membereskan lemari itu."

Gadis itu mulai membukanya. Matanya awas, tak sabar, pun dengan Raiden. Untuk membuka kotak itu mereka harus melepas ikatan akar yang cukup kuat hingga membuat mereka kesulitan. Raiden terpaksa menggunakan gunting untuk membukanya.

Braak!

Tiba-tiba saja pintu ruangan itu menutup sendiri,  terkunci. Jendela ruangan itupun tak luput membuat mereka semakin terkejut, jendela-jendela itu menutup tanpa adanya angin dan terbuka lagi, tertutup lagi, terbuka lagi berulang-ulang diiringin tertutupnya gorden menjadikan ruangan itu gelap. Mereka tak bisa melihat apapun dengan jelas. Hanya sedikit cahaya oranye yang melintas di ventilasi .

Tubuh gadis itu bergetar hebat, dia tidak bisa membuka mulutnya. Dia sangat ketakutan. Tangannya mencengkram lengan baju Raiden. "Apa yang akan terjadi?" Dia bertanya pelan di telinga Raiden.

Lelaki itu tak menjawab, dia hanya memegang pundak temannya bermaksud menenangkan. Raut wajahnya tenang dengan hiasan senyum tipis yang sulit dijelaskan. Gadis itu tidak melihat sedikitpun ketegangan dari Raiden. Tapi dalam posisi seperti ini tidak mungkin jika Raiden tak merasakan apa yang dia rasakan. Tubuh gadis itu kaku dan sulit sekali berteriak. Bahkan berulang-ulang ia mencoba untuk berdiri namun sia-sia, kakinya bagai besi yang menempel di medan magnet. Dan dia yakin jika Raidenpun merasakannya.

"Apa kamu baik-baik saja?" Gadis itu bertanya lagi.

"Aku merasa sangat baik. Kita akan baik-baik saja. Ingat apa yang pernah Rei-sensei bilang pada kita lima tahun lalu? Ilusimu bisa menjadi pisau yang mengoyak jantungmu sendiri. Tetap berpikir baiklah bahwa ini hanya angin." Jawab Raiden ragu-ragu.

"Apa angin bisa mengunci pintu?"

"Mm ... Mungkin bisa. Mungkin anginnya sangat kuat. Jangakan mengunci pintu menghancurkan rumahpun bisa."

"Apa angin memiliki wujud seperti kita?"

Raiden terbahak, "Tidak ada yang mempunyai wujud persis seperti manusia. Jangan berprilaku layaknya anak kecil." Lelaki itu terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak temannya.

"Lalu menurutmu apa yang bisa menyerupai bantuk manusia?" Kali ini pertanyaan gadis itu sedikit serius dengan tatapan yang fokus dan menekan.

"Ada."

"Siapa?"

"Kata nenekku hantu." Raiden menjawabnya dengan berbisik.

"Lalu dia apa?" Gadis itu menunjuk ke belakang punggung Raiden. Sontak lelaki itu berbalik badan.

"AAAAA!"

🌸🌸🌸

The Day When I Met Beautiful Eyes   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang