The Documentary Room Is A Dirty Place?

4 1 0
                                    

"Aku tidak akan melukai kalian. Jangan takut. Aku tidak berdusta, Raiden, mayu percayalah."

Raiden dan Mayu masih menyembunyikan wajah mereka ke tembok. Mereka tidak bisa berkata-kata setelah teriakan terakhir itu.

"Aku sungguh minta maaf jika menakuti kalian. Bagiku ini wujud terbaik yang pernah kutunjukan kepada manusia. Aku tidak tahu kalau kalian tidak bisa menerima kedatanganku. Aku minta maaf."

Pintu terbuka lagi, begitupula dengan gorden dan jendela. Suasana kembali seperti sebelumnya. Raiden dan Mayu membuka mata dan berbalik badan. Tak ditemuinya lagi sosok tadi. Nafas mereka masih kembang kempis. Sulit medikte apa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa hantu datang sore-sore begini dan meminta maaf? Tak sempat berkata-kata Raiden langsung manarik tangan Mayu dan berlari keluar. Mereka lekas mengambil tas di kelas dan berhambur keluar gedung.

Kedua remaja itu terus berlari, melewati halte bus tanpa peduli. Mayu tidak tahu apa yang membuat Raiden begitu saja melewatinya. Dengan berjalan kaki mereka akan sampai malam hari, padahal bus berhenti di halte lima menit lagi. Mereka hanya perlu menunggu lima menit saja. Namun gadis itu tahu jika lelaki yang kini berlari bersamanya tidak akan ceroboh jika dalam kondisi baik. Jadi mungkin kali ini Raiden sangat tidak karuan, lebih parah dari ketakutan dirinya.  Mereka sudah berteman dari sekolah kanak-kanak. Mereka sering pergi dan pulang sekolah berdua. Terlebih rumah mereka memang bertetangga. Tentulah Mayu bisa tahu apa saja tentang Raiden.

Raiden memelankan laju langkahnya. Sudah lumayan jauh mereka meninggalkan halte. Nafas Riden terdengar memburu, semetara Mayu tidak begitu kelelahan. Dia sudah terbiasa dengan aktifitas seperti ini tidak seperti lelaki kurus yang senangnya menghabiskan waktu di kamar dengan video game dan cemilan. Bahkan Raiden sampai rela tidak tidur semalaman hanya untuk menyelesaikan misi in gamenya. Benar-benar konyol. Dan anehnya si lelaki kurus ini tidak pernah terlambat ke sekolah, hanya tertidur sebentar di jam istirahat kedua.

Mayu sempat memarahi lelaki itu. Ia sampai menelan meludah berkali-kali saat bicara. Antara kesal dengan kasian kepada temannya yang satu ini. Ya, yang satu ini, Raiden. Mayu memiliki teman lain yang hampir sama dengan Raiden, bedanya ia terlambat mengenal dan berteman. Tidak, tidak hanya saja itu bedanya. Yang Mayu ketahui banyak sekali bedanya.

"Mayu," Raiden kembali memegang kedua pundak Mayu, menyipitkan matanya dengan nafas yang masih terengah-engah. "Darimana dia tahu namaku dan namamu? Menurutmu apa dia mengenal kita?"

Mayu menggeleng. "Aku penasaran, kenapa tiba-tiba dia datang? Bukankah kita sering membersihkan tempat itu? Ahahaha, sepertinya aku harus mengamalkan apa yang dikatakan Rei-sensei. Ilusi yang hampir membuatku mati mendadak."

"Ya, sepertinya begitu. Aku juga hampir gila dibuatnya. Bagaimana jika tadi kamu beneran mati dan aku mejadi gila." Raiden ikut tertawa. Tawa yang mereka paksakan untuk membuang kegelisahan.

"Bicaramu sudah seperti orang tak waras."

"Kurasa begitu."

Langit mulai kehilangan cahaya. Pelan-pelan bintang kecil bermunculan. Mayu mengangkat wajah ke langit dan mulai menghitung bintang. Tak ada obrolan lagi yang mengisi perjalanan mereka. Keduanya sama-sama sibuk dengan pemikiran sendiri. Entah apa yang sekarang ada di pikiran lelaki kurus itu mungkin saja berbeda dengannya. Mayu tidak bisa begitu saja melupakan kejadian tadi. Ia masih ingat bagaimana mahluk astral itu menatapnya. Tidak mengerikan. Hanya sedikit membuatnya merinding. Matanya normal, tampak seperti dirinya. Matanya berwarna abu-abu terang dengan kulit pucat. Rambutnya lurus berwarna hitam. Dia memakai seragam yang sedikit berbeda dengan miliknya. Roknya terlalu panjang hingga menutupi lutut. Bajunya cukup rapi tampak seperti manusia biasa.

Lalu kenapa dia menjerit? Dia menjerit mengikuti teriakan Raiden. Begitulah, dia akan takut saat orang yang bersamanya ketakutan, akan menangis ketika melihat orang lain menangis, pun bahagia melihat kebahagiaan orang lain. Dia sulit untuk mengekpresikan apa yang dia rasakan hingga dia mengikuti apa yang orang lain alami.

Di persimpangan jalan mereka berpisah, Raiden melambai sebagai salam perpisahan. Mayu masih menatap Raiden, lelaki itu berlari terbirit saat memunggunginya. Gadis itu tertawa kecil, Raiden tidak seperti lelaki sejati, dia terlalu penakut. Setelah punggung Raiden hilang di jalan gang berikutnya barulah ia meninggalkan tempat itu.

•••

Mayu menatap layar ponselnya. Ia masih belum puas dengan apa yang dikatakan Raiden. Tidak mungkin jika yang mereka alami tadi hanya ilusi. Bagaimana bisa sosok tadi begitu nyata menatapnya. Mata Sayu wanita itu membuatnya terus mengingat. Tapi Mayu tidak punya keberanian lebih. Hingga dia menghapus pesan yang baru saja diketiknya.

"Argh, segera berakhirlah hari ini. Ayolah beranjak tidur Mayu."

Drtt drttt drttt.

Satu panggilan masuk membuat kantuknya hilang. "Moshi-moshi."

"Kamu belum tidur? Baguslah, aku ingin bercerita. Kamu harus mendengarnya. Ingin sangat penting." Seseorang di sana berbicara senang sekali.

"Ya, bicaralah." Sambutnya malas.

"Akhirnya, akhirnya, akhirnya!"

"Katakan!"

"Kaori akhirnya menerimaku jadi pacarnya. Besok sepulang sekolah akan jadi hari terindahku. Kita akan berkencan. Kencan pertama kami."

"Lalu?"

"Beri tahu aku tempat kencan yang bagus."

Mayu memberi jeda. Dia mencari tahu tempat bagus yang tepat untuk mereka. Lelaki satu ini tidak suka jika atempat kencan pertama kami sama dengan kencan pertama kami sebelumnya dan sebelumnya dan sebelumnya dan sebelumnya lagi. "Ruang dokumenter." Jawabnya patah-patah.

"Apa? Aku memintamu menunjuka tempat romantis untuk kencan kami buat untuk berbuat mesum. Apa yang terjadi padamu sekarang? Kenapa kamu menjadi sedekit ngeres? Apa ini yang dinamakan masa puber anak perempuan?"

"Apa? Apa menurutmu tempat itu sering digunakan mesum anak-anak?"

"Kamu menunjukanku ruangan dokumenter, apa menurutmu tempat sepi dan dingin itu cocok untuk tempat romantis? Apa tidak berpikir kalo tempat itu cocoknya untuk ... Akh, kau tau maksudku. Ayolah, ayolah, bantu temanmu yang satu ini."

"Apa yang tadi aku katakan?" Kejutnya bukan main.

"Ruang dokumenter. Kenapa kamu menyebut tempat itu? Apa kamu dan Raiden sudah menyulapnya menjadi ruangan yang romantis tadi? Banyak bunga-bunga dan lampu kelap-kelipkah sekarang? Ya ampun kalian sampai seperti itu memberikan kejutan untuk kencanku ini. Kalian memang teman terbaikku. Aku mencintai kalian."

"Aku tidak menyebut tempat itu. Bagaimana bis-, sepertinya aku kelelahan. Kau tanya Raiden saja aku harus istirahat. Selamat malam. Sempai jumpa."

"Tunggu Mayu, May-."

TUT.

Mayu mematikan telfon. Dia menyelimuti tubuhnya. Dia mulai gusar, semua yang terjadi tadi begitu melakat dan berkesan. Sadar atau pun tidak ia ingin tahu lebih banyak tentang gadis itu.

"Ouh, ya ampun. Besok aku harus ke paranormal untuk membantuku dalam masalah ini. Sepertinya aku cukup sehat hari ini. Ya, ya, ya ... Aku harus bertemu Raiden lagi."

🌸🌸🌸

The Day When I Met Beautiful Eyes   Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang