Aku selalu percaya kota-kota yang berdermaga syahbandar punya cara hidup yang berbeda dengan kota yang tumbuh di pedalaman. Mereka melihat pendatang dan orang-orang asing sebagai peluang-peluang mendapatkan pengetahuan baru. Meskipun tak jarang berubah jadi petaka berkepanjangan, tetap saja orang pelabuhan adalah pemilik pintu yang lebih terbuka lebar. Paling tidak, aku masih merasakannya ketika datang kedua kalinya ke Georgetown, Penang.
Kali ini aku datang tanpa sebab dan tujuan jelas, sekadar ingin dan di situlah aku berada. Sebelumnya aku datang dengan seseorang dari masa lalu, yang biasa kita sebut: mantan. Sayangnya saat kedatanganku yang pertama aku tak punya banyak waktu untuk melakukan ritual pelanconganku: pergi ke toko buku setempat. Kali ini aku balas dendam dengan bahagia. Georgetown ini seperti mesin waktu cara Melayu, kau bisa merasai masa lalu dengan berjalan di sepanjang Lebuh Chulia yang didereti bangunan lama yang terawat, pun di jalan-jalan sekitarnya.
Aku tahu, kau pasti akan bertanya apa aroma kota ini, seperti kisah-kisahku sebelumnya. Hmm, kasih aku waktu sebentar... Kurasa, kota ini beraroma padu padan antara tegel tua yang berselaput debu pendatang dari berpenjuru negeri dan kuah kari kental dari semangkuk mi siram kaki lima. Paduan yang membuatmu berenergi sekaligus lestari pada warisan nenek moyang. Karena kau tahu keberadaanmu saat ini sama dengan tiada tanpa jejak-jejak mereka.
Bagiku Penang adalah tempat penulis bisa memilih pojok-pojok favoritnya untuk menumpahkan ide-ide dalam kepala. Kau bisa memilih kedai dimsum di Lebuh Carnarvon yang menyajikan menu sarapan, duduk di meja teras, lalu mengetik ditemani sepiring dimsum dan teh susu panas serta riuh gosip pagi para pemilik kota. Kau juga bisa duduk di meja bar kecil di sepanjang Love Lane menjelang sore, dengan soda lemon dingin dan kipas angin yang menyejukimu dari terik Pinang dan laptop yang penuh terisi. Atau kau memilih menanti matahari terbenam di Esplanade tepi laut, membiarkan angin sore mendinginkan kepalamu yang mengepul oleh rencana-rencana, hingga aksara demi aksara lancar meluncur dari ujung jemarimu.
Atau, sepertiku, meluncur ke puncak Penang Hill menumpang furnikular tua, lalu menyelonjor di bangku taman sambil sesekali melirik pada bentangan Kota Penang di bawah sana yang berselimut kabut, sejuk pegunungan membuat jemariku ringan menarik di atas papan ketik. Menulis tentang apa-apa yang menyesaki kepala dan sisa-sisa pemahaman kemarin lalu. Seisi kota adalah tempatmu berkantor menyelesaikan judul demi judul. Ini kota tempatmu merasa wajib menyelesaikan satu kata tamat. Minimal satu niat menulis.
Gerak Budaya: Cara Penang Berliterasi
Kau tahu sebuah kota dengan sukarela menjaga warisan sejarahnya adalah ketika kau menemukan banyak toko buku bagus di dalamnya. Toko buku yang tak sekadar menjual peta kota komersil, atau buku-buku seken panduan wisata, tetapi menyediakan jejak rekam kota dari masa ke masa. Aku menemukannya di ruas jalan dekat seni-seni grafiti dan instalasi bertebaran menjadi pusat pemotretan massal. Namanya Toko Buku Gerak Budaya, hitam dan kuning kenari warna cat depan dan nuansa dalamnya. Terang benderang diapit ruko-ruko tua. Kau tahu toko buku ini spesial hanya dari melihat bagian luarnya. Seperti biasa, aku menarik napas panjang sebelum mendorong pintu dan masuk ke dalamnya.
Rupanya, di Penang, Gerak Budaya punya dua toko; yang kudatangi di Lebuh Pantai ini disebut Hikayat by Gerak Budaya, khusus menjual buku-buku nonfiksi saja. Sedangkan buku-buku fiksi dijual di Gerak Budaya yang ada di Lebuh Masjid Kapitan Keling. Pemisahan yang buatku pribadi cukup menarik. Pengalaman mengunjungi dua toko buku ini pasti jadi berbeda walaupun sama-sama bernaung di bawah nama yang sama. Walaupun secara marketing pastilah jauh lebih susah dibandingkan toko buku yang menjual segala genre. Toko yang satu menyentuh otakmu terlebih dahulu, baru turun ke hati; toko yang satunya menyentuh hatimu duluan, baru otak mengamini.
Siang itu, hanya aku pengunjung yang mendorong pintu dan masuk melihat-lihat. Aku suka nuansa kuning cat toko buku yang terasa hangat, dipadu lantai motif papan catur yang klasik, toko buku yang seperti kamar teman masa kecilmu yang menyenangkan. Di bagian depan, ada meja displai tinggi tempat buku-buku besar dipajang. Buku foto ukuran jumbo tentang kehidupan Georgetown dari masa ke masa, buku resep masakan peranakan, juga buku sejarah Penang. Toko buku ini seperti duta sejarah bagi pengunjung asing sepertiku. Meskipun ukurannya cuma empat kali empat, seluruh dunia muat di dalamnya. Sayap kanannya dipenuhi deretan rak tema sejarah Asia, sejarah umum, kuliner, dan pengembangan diri, sedangkan bagian kanan dipenuhi buku-buku bertema seni. Ke kanan dululah aku bergeser. Rak buku sejarah Asia menarik langkahku mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARI TOKO BUKU KE TOKO BUKU
AdventureBeberapa orang menemukan harta karun di dasar lautan, beberapa menemukannya di etalase toko-toko mewah, beberapa yang lain menemukannya di kedalaman mata seorang kekasih. Aku menemukannya di toko-toko buku yang kutemui di berbagai periode perjalanan...