//2//

6 1 0
                                    


—NOW PLAYING ON MULMED—

Aku menatap malas ke arah meja yang isinya orang-orang tertawa. Aku melewati sarapan pagi hari ini. Ngilu yang kemarin masih terasa, aku hanya butuh jeda. "Sudah mau pergi?" aku menoleh, ibu berjalan mendekat. Aku bergumam sebagai jawaban, lalu tangannya mengulur ke arahku. Aku menatap tangan ibu, kotak bekal berwarna hitam dia berikan padaku.

Aku menerimanya, lalu berjalan pergi. Tanpa pamit. Sudah kubilang, aku butuh jeda.

Duduk sendirian di halte bus dekat rumah, ini masih terlalu pagi memang. Tapi aku tidak mau terlambat ke sekolah, nilaiku akan terpengaruh jika melakukannya. Kutatap kotak bekal pemberian ibu, aku mengintip isi di dalamnya. Nasi goreng dengan dua telur mata sapi di atasnya, lalu ada tomat yang dipotong berbentuk senyuman. Dua sudut bibirku mengembang. Sesak yang kemarin sedikit berkurang, sepertinya.

Sebuah bus berhenti di depanku, aku segera menaikinya. Duduk di kursi paling belakang, dekat jendela. Perjalanan menuju sekolahku cukup lama, jadi ini adalah tempat ternyaman untukku. Mengambil sesuatu di balik ranselku, lalu menyumpalkannya ke telinga. Alunan-alunan nada di sana menenangkan, setidaknya dapat mempertahankan moodku seharian.

Satu per satu kursi penumpang terisi, tadinya aku sendiri. Namun, sekarang sudah penuh sesak. Beberapa ada yang berdiri karena tidak kebagian tempat. Posisiku masih sama, di kursi belakang. Di sebelahku memang ada orang tapi aku sama sekali tidak pernah menatap siapa yang duduk di sana. Mataku tertuju jauh, di luar jendela.

Menatap bangunan-bangunan yang dilewati, seolah mereka bisa berjalan. Aku menyukai pemandangan seperti itu. Padahal katanya, kalau bepergian hindari melihat ke arah luar. Itu penyebab utama kamu mual. Tapi aku baik-baik saja, sudah biasa sepertinya.

Bus yang kunaiki berhenti tepat di halte sekolah, aku menunggu yang lain keluar. Setelah tidak lagi berdesakan, barulah aku bangkit dan berjalan keluar. Kumasukkan earphone yang sejak tadi sudah kugenggam ke dalam tas, lalu berjalan masuk ke dalam sekolah.

Sebelum melangkah aku berdeham, merapikan penampilan lalu memasang wajah paling bahagia. Ini masih pagi, tidak ada alasan untuk terus-terusan kesal.

"Pr Matematika halaman 58 udah ngerjain belum, Ya?" aku baru saja menghempaskan bokongku, bisa tidak memberiku sedikit ruang? Paling tidak biarkan aku mengatur napas barang sejenak, baru memberikan pertanyaan. Aku ingin berteriak seperti itu, tapi gila saja jika melakukannya.

"Sudah."

Gadis berbehel di depanku ini langsung tersenyum lebar, lalu duduk di sampingku. "Liat dong," katanya.

Aku mengambil buku tugas bersampul coklat dari dalam tas lalu memberikannya, Karina langsung menyalin isi di dalamnya. Aku baik kan?

Aku meletakkan kotak bekal pemberian ibu di atas meja, lalu membukanya. "Wih, wangi banget."

"Mau?"

Karina mengangguk cepat, jadilah dia menyalin tugas sambil sarapan berdua denganku. Aku tidak keberatan. Toh, sarapan pagiku sebenarnya hanya butuh beberapa suap. Tidak perlu banyak.

***

Aku percaya, seorang anak tumbuh sesuai dengan lingkungannya. Dia akan tumbuh sebagaimana dibesarkan. Aku ingat, saat itu kami masih mengontrak rumah dengan dua kamar. Ibu belum mampu membangun rumahnya sendiri. Tapi tinggal ditempat itu juga lumayan, memang sih tidak terlalu besar. Tapi cukuplah, untuk kami terhindar dari panas matahari dan air hujan.

Aku ingat, hari itu umurku masih 4 tahunan. Aku baru pulang dari membeli mainan baru bersama ibu dan kakak. Ayah tidak ada di rumah. Entah ke mana, aku tidak tahu. Seperti anak lainnya, aku dan kakak main bersama. Bergantian. Ibu di dapur, memasak mungkin.

Ayah pulang, dia bertanya di mana ibu? Kami menjawab di dapur. Ayah pergi ke dapur. Jarak antara dapur dan ruang depan tidak begitu jauh, rumah kami yang kecil itu hanya diberi sekat-sekat. Aku bisa mendengar jelas, ayah meminta uang dari ibu.

"Itu penipuan!" suara ibu sedikit berteriak. Aku dan kakak berlari masuk ke kamar.

Tapi, kami masih bisa mendengar dengan jelas. "Kalau ada yang ikutan lagi, uangnya bisa bertambah."

"Mana ada orang mau memberi uang tanpa bekerja," kali ini suara ibu.

"Kalau uangnya berkali lipat, kamu bakalan minta juga."

Aku mendengar benda jatuh dari dapur, tapi kakak menahanku. Jadinya aku hanya berada di pelukan kakak. "Aku nggak mau ngasih, kerjaan kamu yang kemarin aja nggak menghasilkan apa-apa. Sekarang mau minta uang lagi?" aku mendengar benda jatuh lagi. Kali ini sepertinya piring pecah.

"Dasar!"

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi yang kudengar ibu berteriak dan menangis cukup kencang. Kakak melepaskan pelukannya, dia berlari ke dapur. Aku mengikutinya. Aku melihat ibu menyentuh matanya, sambil berteriak sakit.

Kakak sudah menahan ayah untuk tidak lagi menyirami ibu dengan cairan berwarna kuning dari jerigen putih ukuran lima liter, kalau tidak salah. Kakak juga berteriak, menyuruh ayah berhenti. Tapi tubuh ayah yang besar masih memegang dagu ibu, sudah tidak menyiraminya lagi. Aku bisa tau dari baunya kalau itu bensin. Aku menangis, saat menyadari ayah menyirami mata ibu dengan bensin. Karena kata ibu, air berwarna bening agak kekuningan itu bisa membakar apa saja, itu jawaban ibu saat aku bertanya air apa di dalam jerigen yang ibu simpan di sudut kamar mandi. Aku menarik tangan ayah. Menangis, memohon agar ayah jangan melukai ibu.

Ayah terduduk, dia menatap wajahku. Lalu dengan cepat berdiri, ke kamar mandi dan mengambil air yang diisi ayah dalam baskom biasa untuk ibu mencuci pakaian. Ayah membantu ibu membasuh wajahnya, namun ibu langsung menghentak tangannya. Kakak yang membantu ibu. Ayah melihat tangis ibu sudah mereda, dia ingin menyentuh ibu lalu ibu langsung menarik tangan kakak dan menyuruhku mendekat. Ibu memeluk kami. Yang aku tahu ayah pergi dari rumah.

"Ibu baik-baik aja?" tanya kakak saat ibu membasuh matanya lagi.

"Iya, ibu nggak papa kok." ibu masih bisa tersenyum. Aku tidak tahu apa-apa hari itu, tapi kejadian itu masih terngiang di kepalaku—sampai hari ini.

Ibu bangkit, bajunya sudah basah sebagian. Lalu dia membawa kembali baskom itu ke dalam kamar mandi, aku melihat kakak mengambil sapu. Dia membersihkan beling-beling yang berasal dari piring pecah, aku mendekatinya. Ingin membantu. Tapi kakak menyuruhku jangan mendekat, jadinya aku hanya berdiri saja.

"Ayo Raya, ibu mandikan. Keiko biarkan saja itu, nanti kaki kamu kena beling. Ayo ibu mandikan kalian berdua." aku yang masih berumur empat tahun tentu saja ikut senang saat kami mandi bersama. Tapi ibu masih memakai pakaian yang basah tadi, katanya setelah kami berdua selesai mandi barulah giliran ibu.

"Ya, ke kantin yuk?" Aku melihat Angeli di depan pintu kelas, langsung kututup buku bersampul bunga matahari itu.

"Ayo."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 13, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

h o l d  o nTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang