CHAPTER 5

15 1 0
                                    

June menenggak tiga kali air segar dari sponsor yang diterimanya semalam. Dia hitung, karena hanya ada satu botol sementara kerongkongan yang membutuhkannya ada empat. Dalam hati ia bertekad untuk menemukan sungai secepat-cepatnya. Daripada mati kehausan, June lebih memilih mati karena penyerbuan.

"Mau." Jennie mengulurkan tangannya. June menyerahkan botol minumnya kepada Jennie, lantas menatap sosok Rose yang duduk beberapa meter di belakangnya.

"Beneran gak ngomong apa-apa dari semalem?" tanya June. Awalnya ia menganggap perempuan itu masih berduka—tentu saja, June pun sama—tapi lama kelamaan ia khawatir juga.

Jennie mengangkat bahu sambil meneguk air, lalu menggeleng. "Kita punya cara kita sendiri buat berduka, Jun. Biarin aja."

June mengangguk-angguk, pandangannya masih belum lepas dari Rose. "Ayo tanya Hanbin."

"Soal Rose?" Jennie mengernyit.

"Parah, ya mana tau dia," jawab June. "Soal rencana selanjutnya. Gue gatel diem terus."

Karena kalau ia diam, kematian Bobby akan terus terngiang.

Maka keduanya menghampiri Hanbin yang—tadi June tak begitu memperhatikan, namun setelah dilihatnya lagi, ternyata leadernya tengah memotong-motong kayu menggunakan kapak milik Bobby.

Jennie benar, sepertinya. Kita semua punya cara kita sendiri untuk berduka.

"Hanbin."

Laki-laki itu menoleh, lantas menaruh kapaknya di atas tumpukan kayu dan mengelap peluhnya. Ia mengangkat dagu, menyuruh June untuk berbicara.

"Kemarin sehari-semalem ga ada suara meriam sama sekali. Tribut terakhir yang mati Jaehyun," ucapnya. "Kita ga bakal bisa keluar kalo game ga lanjut."

Kalau begini, bukannya apa-apa jadi semakin mudah bagi mereka? Tampaknya semua tribut tenang-tenang saja tanpa merencanakan penyergapan dan macam-macamnya. Semua yang terjadi di dalam arena jadi tergantung apa yang akan dilakukan mereka, kan?

Hanbin menghela nafas panjang. "Gue tergantung kalian. Kalian udah siap hunting lagi?"

June dan Jennie menatap satu sama lain, lantas mengangguk mantap.

"Satu-satunya hal yang gue pinginin sekarang selain bisa keluar dari sini adalah buat ngebalesin dendam Jisoo sama Bobby, jadi, yah," Jennie mengangkat bahu, "gue selalu siap."

June merasakan tatapan ragu dari ketuanya. Apa yang Hanbin ucapkan tak terasa seyakin bagaimana ia mengucapkannya kemarin.

"Rose?"

"Masih terguncang. Gue kemarin udah nyoba ngomong ke dia, tapi dia ga bicara apa-apa," kata Jennie. "Mau gue coba ajak ngomong lagi?"

Ada jeda beberapa detik sebelum Hanbin akhirnya mengangguk. "Tolong, Jen."

Jennie mengangguk, kemudian segera membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah Rose.

"Oh, Jen."

Jennie menoleh, menatap Hanbin penuh tanda tanya.

"Kasih tau Rose... gue tau dia mau kematian Jisoo terbalaskan. Kematian mereka berdua cuma bisa terbalaskan dengan cara menang," ucap Hanbin. Cara bicaranya, entah bagaimana, membuat June menyimpulkan kalau laki-laki itu sebenarnya gugup. "Dan kita ga bisa menang dengan duduk diam."

Jennie mengerjap, tampaknya juga menyadari kegugupan Hanbin. Ia kemudian mengutarakan sebuah 'oke', lantas kembali berjalan, menghampiri Rose. Kini hanya ada June dan Hanbin.

"Ada yang lo sembunyiin?" June akhirnya mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya. Hanbin membalasnya dengan tawa pelan yang masih terdengar dipaksakan.

marked of sorrow | kpop thg!au.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang