CHAPTER 3

14 1 0
                                    

Udara segar seketika menyapa wajah Jiho. Terik matahari menerpa wajahnya, dan hijaunya pepohonan terlihat mengelilingi mereka. Singkirkan permainan dari entah-siapa ini, maka Jiho akan merasa dirinya tengah berada dalam piknik mendadak ke sebuah hutan terpencil di pegunungan.

Mengedarkan pandangannya, ia mendapati ke-23 peserta lainnya berada dalam posisi siap, namun entah bagaimana juga lengah dan ketakutan. Mata mereka memancarkan suatu keraguan yang mendadak muncul, dan lutut mereka bergetar. Jiho tahu mereka tak siap. Jiho tahu dia sendiri tak siap.

Binnie menatapnya yakin. Perempuan itu menganggukkan kepalanya, sedikit membuat Jiho merasa tenang.

Di sebelah kanannya berdiri Hoshi yang menatap lurus ke arah Curnocopia—pusat dari area permainan ini. Mingyu dalam posisi bersiap. Tak jauh darinya ada pula YooA yang tampaknya tengah berharap tabung itu kembali turun, serta Dokyeom yang tak membalas tatapannya, justru menunduk dengan tangan yang gemetar.

Jiho tak tahu harus berbuat apa kalau sampai mereka harus mati, sedangkan ia berhasil menghirup udara Seoul kembali dan harus menjelaskan apa yang terjadi pada publik.

Suara sirine dari Cornucopia mengalihkan perhatiannya, menyadarkannya dari lamunan yang seharusnya tidak dipikirkan dalam keadaan seperti ini. Binnie sekali lagi menatap ke arahnya mantap. "Jangan goyah," ucapnya disertai senyuman tipis. Jiho tidak tahu apakah ia harus membalas senyuman itu atau tidak.

Suara hitungan mundur terdengar. Setiap berkurangnya angka, perasaan gugup mereka semakin bertambah.

"Lima, empat..."

Sekali lagi Jiho melirik Dokyeom. Pandangan mereka masih tak bertemu, dan itu adalah saat ketika Jiho menyadari ada sesuatu yang salah.

"Tiga, dua, satu."

TEEEEET!

Terompet berbunyi. Jiho baru menjejakkan kedua kakinya di tanah, berancang-ancang untuk menyusul Binnie yang telah melesat meninggalkan tribut-tribut lain.

"Apa—"

Tangan Dokyeom mencengkeramnya—Jiho semakin ketakutan merasakan genggamannya yang bahkan tak cukup erat untuk menahannya. Ujung-ujung jarinya mendingin, gemetar. Jiho menatap sesaat Cornucopia sebelum menyimpulkan dengan cepat kalau Dokyeom tak akan mungkin berada di sana, dan berarti ia juga.

"Lo kuat jalan ke hutan, kan? Dokyeom?" Jiho menepuk pundak temannya. Kini ia yang menggandeng temannya, nyaris menyeret Dokyeom untuk berlindung di balik pepohonan.

Tempat mereka berhenti tak begitu jauh memelosok ke dalam hutan. Cornucopia masih terlihat jelas dalam pandangan. Dokyeom menatap Hoshi dan yang lainnya yang membalap beberapa peserta lainnya, dengan segera mengambil persenjataan.

Para peserta gencar. Banyak dari mereka berlarian, berlomba siapa-cepat-dia-dapat ke arah Curnocopia, dan mengambil persediaan sebanyak-banyaknya. Untuk sesaat suasana benar-benar intens, dan yang terdengar hanya derap langkah mereka dan bunyi denting persenjataan yang diperebutkan. Dokyeom menganga.

"Mereka—mereka ke Cornucopia, Ho—"

"Emang itu rencana awalnya, Kyeom," ucap Jiho. Alisnya tertaut khawatir, memperhatikan kedua saudarinya dengan seksama. "Gapapa. Selama mereka ga kenapa-kenapa, selama kita ga kenapa-kenapa..."

Dokyeom tak berkutik; ia terpaku di tempat, menyaksikan mereka yang berada di Cornucopia mengacungkan pedang satu sama lain, membidik dengan panah, bertarung tanpa senjata untuk memperebutkan tas berisi suplai—

Jiho terkesiap. Seluruh peserta sungguh tak ada yang meninggalkan Cornucopia.

"Yeri—Yerim!" Irene meninggalkan busur panahnya di atas tumpukan makanan, kepalanya ditolehkan ke sana kemari mencari adiknya. "Yerim!"

marked of sorrow | kpop thg!au.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang