Voor

4.5K 398 26
                                    

Destiny is not a matter of chance; it is a matter of choice. It is not a thing to be waited for, it is a thing to be achieved.

.
.
.

Tokyo, 10 Februari 1940

Taeyong tidak akan pernah melupakan semua jasa kepala sekolah di Soru no Saishu Gakunen, Nakamoto-sensei. Seorang lelaki paruh baya kebangsaan Jepang yang menjadi satu dari sedikit orang Jepang yang ia percaya.

Padanya, Taeyong bekerja sebagai penerjemah pribadi saat kepala sekolahnya itu berinteraksi dengan penduduk lokal, mengingat Nakamoto-sensei tidak bisa berbahasa Korea walau telah tinggal selama lima tahun di negeri ginseng.

Bukan uang yang menjadi imbalan, melainkan buku-buku berbahasa Jepang milik kepala sekolahnya. Lelaki cantik itu gemar sekali membaca beragam buku.

Nakamoto pun menganggap Taeyong istimewa. Lelaki muda itu menerjemahkan apapun tanpa tambahan bumbu-bumbu tak perlu seperti yang biasa dilakukan penerjemah resmi pemerintah gila harta.

Dan disinilah Taeyong sekarang. Tanah Tokyo yang ingin sekali ia kunjungi. Tentu atas rekomendasi dari Nakamoto ia bisa menapakkan kaki di salah satu kota besar di negeri matahari terbit, negeri penjajah.

Kakinya melangkah menyusuri jalanan Tokyo. Ia memperhatikan betapa baiknya kehidupan masyarakat disini jika dibandingkan penduduk di negerinya.

Anak-anak kecil berlarian dengan tawa polos mereka, seakan belum mengenal kerasnya kehidupan. Orang-orang berumur senja duduk bersantai di depan rumah.

Ah, Taeyong jadi ingat neneknya. Terngiang pesan-pesan arif dari hasil pengalamannya mengenyam manis asamnya garis kehidupan.

'Masyarakat kita amat makmur saat ini walau dibawah jajahan Jepang. Kau tau kenapa? Karena kita semua hanya menginginkan satu hal. Merdeka. Karena persatuan membawa kemakmuran bagi masyarakat. Bukan keinginan egois yang membawa perpecahan.'

Iris obsidiannya menatap sekitar. Negeri yang asing, jauh dari tanah kelahirannya. Jemari lentiknya menarik sebuah buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemana-mana. Buku yang berisi coretan setiap detail keadaan sekitarnya, baik berbentuk paragraf rapi tulisan tangan, maupun garis-garis acak membentuk sketsa yang indah.

Bruk!

Taeyong menunduk saat merasakan sesuatu menabrak tubuh kurusnya. Matanya bertatapan dengan binar polos makhluk mungil yang kini jatuh terduduk di samping kakinya.

"Daijobudesuka?" (Kau baik-baik saja?) ia berjongkok, menyejajarkan tubuhnya dengan gadis mungil di depannya.

"Um!" gadis mungil itu mengangguk dengan raut wajah sedikit takut menatap orang asing di hadapannya.

"Anata wa chui suru hitsuyo ga arimasu." (Kau harus berhati-hati) tangannya mengusap pelan kepala gadis mungil itu.

"Yuki-chan."

Taeyong menoleh saat sebuah suara muncul di belakangnya.

Seorang lelaki jangkung dengan tuxedo abu-abu berjalan mendekat lalu menggendong gadis mungil yang tadi menabrak kaki Taeyong.

Voor Jou (Jaeyong) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang