Hari Pertama

13 1 2
                                    


Seorang remaja lelaki dengan surai tebal kehitaman menatap lurus lukisan di hadapannya. Meski terpisah jarak beberapa meter, Keandra mampu meneliti setiap lekuk lukisan. Bagi sebagian orang, lukisan itu mungkin terlihat indah dengan gaya vintage yang khas sehingga memberikan kesan klasik. Perpaduan warna yang digunakan cenderung lembut dan teduh untuk dipandang mata. Selain itu, subjek yang ditampilkan dalam lukisan seolah mengisyaratkan bahwa pelukis menganut aliran realisme. Tapi siapa yang menyangka jika lukisan itu menyimpan penderitaan di balik keindahannya. 

Lukisan itu terkutuk.

Keandra dapat berspekulasi demikian karena mengetahui kisah pembuatan lukisan yang cukup mengerikan. Mari, kita lupakan sejenak mengenai sejarah lukisan itu. Kali ini, ada hal yang lebih penting. 

"Mustahil! Kenapa lukisannya bisa ada di sini? Perasaan udah gue singkirin dua tahun yang lalu," desis Keandra seraya mengerjapkan mata beberapa kali.

Mata itu! Wajah itu! Setiap kali melihatnya, perut Keandra terasa bergejolak hebat. Terlebih lagi, senyum palsu yang terpatri pada salah satu subjek lukisan membuat perasaannya berubah tidak nyaman.

Keandra menggeleng tidak percaya dengan apa yang lihat. Bagaimana lukisannya bisa kembali? Apa ada orang lain yang memindahkannya? Rasanya tidak mungkin karena Keandra hanya tinggal seorang diri. Akses kamar ini juga terbatas bagi orang lain. Jadi, tidak ada orang lain yang dapat memindahkannya. Di sisi lain, Keandra sudah menyingkirkan lukisan itu dua tahun yang lalu.

Awalnya, Keandra ingin membersihkan kamar ini karena sudah lama tidak digunakan. Ia takut kamar ini berubah menjadi sarang tikus akibat jarang dibersihkan. Begitu memasuki kamar, ia justru dikejutkan dengan kehadiran lukisan itu.

Tak ingin terlalu lama larut dalam pikirannya, Keandra berusaha mengambil lukisan yang nampak terpajang kokoh di dinding.

"Gue harus bakar lukisan ini," ucap Keandra seraya menjatuhkan pandangan ke arah lukisan yang berada di genggaman tangannya. Keandra langsung membawa lukisan itu pergi sejauh mungkin.

Namun, Keandra dibuat kebingungan lantaran pintu kamar yang tidak ingin terbuka. Berulang kali, ia mencoba memutar kenop pintu, bahkan mendobraknya. Nahas, segala usahanya tidak membuahkan hasil.

"Sial!" Keandra berdecak sembari mengacak rambutnya. Lelaki itu menghela napas sejenak, lalu mengarahkan atensinya ke seluruh penjuru kamar. Berharap ia dapat menemukan jalan keluar.

Iris kecoklatan Keandra terpaku pada satu-satunya jendela kaca tanpa teralis di kamar ini. Senyum di bibirnya merekah seraya berjalan menghampiri jendela. Ia mencoba membuka pengait jendela dan terbuka. Usai mendorong kaca jendela ke atas, ia melihat ke bawah untuk mengukur tinggi lantai kamar dengan permukaan tanah. Jaraknya tidak terlalu tinggi sehingga ia bisa melompat dari sini. Sebelum melompat, ia terlebih dahulu menurunkan lukisannya.

"Keandra."

Keandra sontak terkejut begitu mendengar bisikan samar yang memanggil namanya. Suara ini. Keandra sangat mengenal suara ini. Dalam hitungan detik, rongga jantungnya berdegup kencang seperti genderang perang. Tolong ingatkan Keandra, jika ia sedang berhalusinasi karena pemilik suara ini telah meninggal dunia.

Plak!

"Shhh, sakit. Sial, ini bukan mimpi!" desis Keandra mengelus sebelah pipinya yang meninggalkan bekas kemerahan.

"Keandra."

Astaga, Keandra ingin membalikkan tubuhnya untuk memastikan pemilik suara tersebut. Dengan perasaan was-was, Keandra mulai memutar kepalanya ke belakang. Napasnya tertahan begitu melihat sosok yang dulu pernah hadir dalam hidupnya.

Tubuhnya terasa sangat lemas. Ia tidak percaya dapat bertemu kembali dengan sosok itu setelah 13 tahun kematiannya. Sulit dipercaya, mereka bertemu dengan dunia yang berbeda. Sungguh momen yang mengharukan, bukan? Seharusnya.

"Apa lagi yang lo mau dari gue?" Keandra mengetatkan rahangnya sembari mempererat genggaman pada sisi jendela.

Hening. Sosok itu hanya terdiam selama kurang lebih tiga menit. Pertanyaan yang dilontarkan Keandra seolah menjadi angin lalu bagi sosok itu.

Tapi bukankah ini peluang yang bagus untuk melarikan diri? Sejauh ini, sosok itu tidak menunjukkan pergerakan yang berbahaya. Namun, dugaan Keandra salah. Sosok itu perlahan mengangkat kepalanya yang semula tertunduk, lalu melempar senyum misterius. Senyum yang mampu membuat bulu kuduk di sekujur tubuh Keandra meremang.

Secara mengejutkan, sosok itu telah berdiri tepat di depan wajah Keandra. Sejak kapan? Sosok itu bergerak cepat layaknya hembusan angin sampai Keandra tidak menyadarinya sama sekali.

Keandra tidak dapat berbuat apa-apa, selain terdiam kaku. Dari jarak sedekat ini, Keandra baru menyadari jika wajah sosok itu tidak jauh berbeda saat masih hidup dulu. Hanya saja sekarang wajah sosok itu terlihat pucat dan jauh lebih menyeramkan.

Seakan tidak memberi kesempatan bagi Keandra untuk mencerna, tiba-tiba sosok itu mencekik kuat lehernya hingga terdorong keluar dari jendela.

"Bukankah kita sudah berjanji untuk selalu bersama sehidup dan semati?" Sosok itu berbisik, kemudian membuka lebar rongga mulutnya yang bersimbah darah merah kehitaman.

Kalimat tersebut samar terdengar sebelum kesadaran Keandra mulai terenggut.

***

Bola mata Keandra membelalak lebar setelah terbangun dari tidurnya. Napas lelaki itu tersengal-sengal seiring peluh yang membanjiri tubuhnya. Sial, ia baru saja mengalami mimpi yang sangat mengerikan. Mimpi yang menurutnya terasa sangat nyata.

Sembari menenangkan diri, Keandra mengelus permukaan lehernya yang sempat mendapat dicekik. Sosok itu sengaja ingin membunuhnya. Beruntung, cekikan itu tidak sampai meninggalkan bekas. Orang-orang yang melihatnya pasti mengira jika ia telah  melakukan aksi bunuh diri.

"Sekarang udah jam berapa?" monolog Keandra sembari meraih benda berbentuk persegi panjang yang terletak di atas nakas. Ternyata, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Pantas saja, jika matahari telah bersinar terang hingga melewati celah tirai kamarnya. Ia lantas menyampirkan selimut, lalu merapikan tempat tidurnya seperti kondisi semula.

Kedua kaki jenjangnya melangkah menuju dapur. Ia butuh air dingin untuk merilekskan tubuh dan pikirannya. Ia mengambil botol air mineral dari dalam kulkas, lalu meneguknya hingga tandas.

Keandra menggeram lantaran teringat kembali dengan mimpi buruknya. "Kenapa harus dia yang hadir di mimpi gue? Bahkan, sosok itu nggak segan buat bunuh gue."

Entah kenapa, Keandra merasa jika sosok itu tidak serta merta datang ke dalam mimpinya tanpa suatu alasan. Apapun alasannya, mulai saat ini ia harus lebih berhati-hati. Kalau boleh jujur, ia tidak ingin bertemu lagi dengan sosok itu.

Botol air mineral yang berada dalam genggamannya, Keandra letakkan begitu saja. Ia bergerak cepat menaiki anak tangga hingga langkahnya berhenti di depan kamar yang pintunya nampak digembok. Siapa lagi pelakunya kalau bukan ia sendiri. Ia ingin memastikan sesuatu di kamar ini.

Ketika gemboknya telah terbuka, Keandra langsung memutar kenop pintu. Udara yang terasa pengap  seakan menjadi tanda bahwa kamar ini memang sudah lama tidak digunakan.

Tak jarang, Keandra sampai terbatuk karena tebalnya debu yang bertebaran. Akan tetapi, dalam sekejap raut wajah Keandra berubah menegang seperti baru saja melihat hantu.

Keandra tertawa pias seraya menggeleng pelan. "Astaga, apa gue nggak salah lihat?"

Lukisan itu kini terpajang jelas di hadapan Keandra. Lukisan yang seharusnya sudah ia musnaskah.

***

30 Days In NightmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang