Pertemuan

38 4 0
                                    

Sore itu, Ahmad sedang menyusuri jalan setapak alas Blora yang basah kuyup, terguyur derasnya hujan dua hari satu malam. Dengan baju koko putih ke abu-abuan, berkalungkan sarung bermotif kotak-kotak.


Ia menaiki sepeda tuanya yang berselimut karat. Setiap bagian bawah pohon jati yang rindang telah disusuri dengan teliti dan seksama, berharap mendapat kayu bakar kering yang masih tersisa untuk diambil, guna acara bakar-bakar bersama teman-temanya malam nanti di pondok pesantren.


Satu jam berlalu tanpa terasa. Ahmad terus menyusuri sebagian kawasan jalan setapak hutan jati, dan sangat berharap mendapat banyak kayu bakar, akan tetapi takdir berkata lain ,hanya sedikit kayu bakar yang Ia dapatkan.


"hah.., kalo dapetnya cuma segini, gimana mau bakar-bakar nanti malam?" hela nafasnya panjang diringi dengan keluhanya.


Ahirnya Ia keluar dari hutan itu, hanya seikat kecil kayu bakar berhasil Ia bawa. Kemud ian Ahmad mengikat kayu yang setengah basah itu di boncengan belakang sepedanya dengan seutas tali dari karet ban tua dengan kencang, agar tak ada kayu yang tercecer dijalan nantinya.


Sepuluh menit berlalu. Dalam perjalanan pulang menuju pondok pesantren, Ia terkejut, terlihat dari kejauhan sepasang turis yang sedang dirampok oleh tiga orang pria bermuka sangar, berbadan kurus,dan ada juga yang agak bongsor, terlihat sedang mengancam pasangan turis, yang nampaknya seperti orang Jepang.


Tanpa pikir panjang Ahmad langsung berlari menuju mereka, Ia menjatuhkan sepedanya begitu saja dipinggir jalan, kayu yang diikatnya berhamburan, terlepas dari ikatan tali ban yang terputus karena berturan yang keras dengan tanah.


"Assalamualaikum, ini bapak- sekalian lagi ngapain ya?" Sapanya menyeringai kepada tiga perampok di depanya.


"He bocah!, kamu jangan ikut campurya, mending kamu pergi aja dari sini, dari pada nyamu mu yang harus pergi!" gertak perampok berbadan bongsor dengan nada tinggi kepada Ahmad.


"Walah , ngapuntene pak, yen enten wong salam niku,hukum e fardu kifayah kangge dijawab!"("Aduh, maaf nih pak, kalau ada orang lain mengucap salam itu, hukum menjawabnya dalah fardu kifayah untuk dijawab! ") sahutnya tak gentar.


Perampok berbadan bongsor bertriak,"Banyak bacot kamu bocah...!" Ia berlari dengan kencang kearah Ahmad akan melayangkan bogem mentahnya.


Dengan sigap Ia langsung merunduk sambil terperingai menghindari bogeman perampok berbadan bongsor.


Dengan gerakan cepat Ia menendang perampok itu dari bawah menggunakan tumitnya, tepat di selangkangan perampok berbadan bongsor dan berkumis melintang. Wajah perampok itu berubah menjadi biru.


"Aduhh duhh duhhh, manukkuuuu...!" teriaknya dengan sangat keras.


Ia memegang selangkanya dan berguling-guling ditanah menahan rasa sakit yang luar biasa.


Kedua rekanya yang lain mengambil ancang-ancang menyerang, mereka mengeluarkan pisau yang berada dibalik ikat pinggang. Layaknya acrobat, salah satu darinya memainkan pisau


Perampok itu memutar-mutar pisaunya dengan cepat kekanan, kekiri, kedepan, kebelakang berputar, kebawah, lalu keatas. Ahmad terheran-heran melihat tingkah perampok yang ada dihadapanya.


Kemudian pisaupun terlepas dari tangan perampok itu, Karena tangan yang licin akibat keringat, lalu pisau berputar bebas di udara dengan sangat cepat.


Semua mendongak keatas melihat perputaran pisau diudara yang tak terkendali, pisau berputar semakin cepat kebawah, ditarik gaya grafitasi.


Tak terduga, pisau mengarah kesalah satu perampok yang berada disamping si pelempar pisau. Perampok yang sadar nyawanya terancam karena pisau nyasar itu pun reflek mundur kebelakang,menghindari datangnya pisau yang tertuju kearahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Translator Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang