Berhembus Angin Berembun

8 1 0
                                    

Pagi sudah kini, angin berhembus dengan dingin embun yang khas, tidak ada kesibukan yang cukup keras, hanya beberapa suara adzan yang terdengar samar-samar dari balik daun telinganya, jalanan kota tokyo memang masih sangat jarang masjid atau mushola, tidak seperti indonesia, hampir berjarak ratusan meter saja sudah bisa ditemukan menara yang megah menjulang tinggu menjumpa langit. Aku jadi rindu indonesia.

Setiap jam 3 pagi di hari Ahad ini, aku harus bergegas meninggalkan apartemen, pergi menuju sebuah gedung mirip mushola, di pelataran taman tokyo tidak jauh dari menara tokyo. Ada malam Qiyamullail malam ini, dan aku sudah agak terlambat.

Dalam perjalanan menuju mushola, aku terhenyak dengan wajah yang tidak asing lagi. Seorang berparas lesuh dengan semua atribut yang menggambarkan dirinya hidup sudah sangat lama, di luar kafe dengan secangkir kopi hitam yang masih utuh.

Duduknya masih tegap dengan pandangan mata yang sama seperti malam tadi, lelaki tua itu seperti patung, pandangannya tidak berubah dari toko tua bertulisan mandarin itu.

"Selamat Pagi" Aku mencoba memberanikan diri untuk menyapa lelaki tua itu, dengan sedikit berhati-hati, aku pelankan suara dan bertanya lagi "Anda Orang Indonesia?" 

Pandangannya masih terbuka, tapi telinganya belum merespon suara dari gadis muda itu. 

"Permisi, Excusme" Gadis muda itu kembali menyapanya dengan suara agak keras.

"Oh iya, Sorry." Lelaki tua itu terkaget, tenaganya tampak lemah dan suaranya serak. Bahasa inggrisnya tampak lancar.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 18, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ENJOY kopi everydayWhere stories live. Discover now