Anting Emas

9 0 0
                                    

"Huhh..." kepalaku masih agak pusing dan berat. Pegal terasa dari bahu sampai ke punggung. Masih dalam posisi berbaring, aku memiringkan badan dan berusaha meraih saklar lampu untuk menyalakannya. Lalu tanganku meraba-raba kasur dan bawah bantal, mencari ponselku. Kulihat layar ponsel yang telah kuraih dari ujung tempat tidur. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Sialan. Aku telat untuk mengikuti kegiatan kampus pada hari ini. Bahkan pukul segini acaranya sudah hampir selesai.

Posisi tubuhku yang semula berbaring kini telah kuganti menjadi duduk. Masih sambil sesekali memijat kepalaku sendiri yang masih berat ini. Kuraih botol air mineral di meja sebelah tempat tidurku yang isinya tinggal setengah. Kutenggak isinya sampai habis. "Huhhh... fiuhhh.." irama napasku masih sedikit tak teratur. Setelah tujuh menit hanya kuisi dengan lamunan, aku berdiri dan beranjak ke kamar mandi. Kunyalakan keran air dan membasuh muka lalu menggosoknya dengan keras, sampai air terciprat kemana-mana. Kuseka air yang masih membasahi wajahku dengan telapak tangan lalu melihat cermin yang memantulkan wajah pucat berkantung mata. Wajahku.

Kembali kududuk di sisi tempat tidur yang berantakan. Masih mengenakan baju dan celana panjang yang kupakai sejak pergi malam kemarin. Aku merogoh saku celana untuk mengeluarkan kunci motor. Namun tanganku merasakan ada yang ganjil. Ada sebuah benda yang rasanya berbentuk lingkaran. Jariku mengelus-elus benda yang masih ada di dalam saku itu untuk memastikan bentuknya. Lalu aku tarik keluar benda itu. Ternyata itu adalah sebuah anting emas. Diameternya cukup besar, sekitar tiga sentimeter. Warnanya emas, walau sepertinya bukan terbuat dari emas sungguhan. Aku terdiam sejenak, mencoba menggali memoriku. Mengingat-ingat bagaimana benda ini bisa berada dalam saku celanaku. Aku berada dalam sebuah bar malam tadi... musik berputar sangat kencang... lampu biru-ungu bergerak dan berputar cepat... dua botol minuman tergeletak habis di atas meja bar.. wanita itu.... Ah! Ya, aku ingat wajahnya walau masih samar-samar. Rambutnya panjang sampai ke bahu.. bibirnya merah tua terbalut lipstick...

"Tok!!! Tok!!" suara ketukan pintu itu membuyarkan lamunanku. "Nan, nih kunci motor lo masih gantung di motor. Lain kali ati-ati, ya." Anton teman di seberang kamarku memberikan kunci motor yang ternyata masih menggantung di motor sejak kemarin malam. Kacau. Kacau sekali malam kemarin. Dua botol whiskey yang dibagi untuk enam orang ternyata masih cukup memabukan. Padahal niat awalku datang hanyalah untuk menemani sahabatku yang ingin bertemu dengan kekasihnya di acara tersebut. Alunan musik yang asik dan suasana yang begitu ramai ternyata melarutkanku untuk turut di dalamnya.

Dan lagi.. anting yang masih kugenggam ini. Aku ingat semalam ada seorang wanita yang sepantar denganku. Aku berkenalan dengan dia setelah membantu temannya yang hendak berjalan ke toilet. Aku ingat pakaiannya bermotif loreng dengan outer berwarna hitam. Ia datang bersama tiga orang temannya, dimana yang satu orang sudah mabuk berat. Ketika itu ia juga mengatakan kalau kepalanya sudah mulai pusing. Aku duduk di kursi bar sebelahnya. Lalu kupesan sebotol air mineral untuknya. Ia duduk dan menahan kepalanya dengan tangan di atas meja bar yang sudah berantakan. Aku menyalakan sebatang rokok dan menawarkan padanya. Ia mengambil sebatang lalu menyalakannya dari bara api yang masih menyala di ujung rokokku. Kami mengobrol sebentar, dan ia kembali mengatakan kalau kepalanya pusing. Lalu ia menyandarkan kepalanya di bahu kananku. Aku mengelus rambutnya yang wangi sekali. Demi Tuhan, wangi sekali. Sesekali kuusap pula bahu lalu pipinya. Temannya yang mabuk berat menariknya untuk mendekat. Mungkin karena posisinya tak nyaman, ia melepaskan antingnya dan menitipkan padaku, yang kemudian kusimpan dalam saku celana.

Setelah itu ia kembali bersandar padaku. Posisi tubuhnya membelakangi diriku. Sehingga ia bersandar dalam posisi seakan aku memeluknya dari belakang. Kami sesekali mengobrol, walau aku tahu kesadarannya sudah tak begitu normal. Kami berbincang tentang kuliah, tempat tinggal, dan lainnya, yang dari situ kutahu bahwa ia kuliah di salah satu universitas di Bandung dan kost di daerah Setiabudi. Matanya terpejam, terlelap di atas bahuku. Tanganku berada di atas kepalanya dan jemariku bergerak mengelus rambutnya yang wangi itu. Aku ingin mengenal dia. Bukan sekedar malam ini, tetapi terus di hari berikutnya. Aku tahu ini tempat hiburan. Di bar semacam ini lelaki dan wanita yang bertemu katanya hanya untuk satu malam. Tapi bukan itu yang aku mau. Ada ketertarikan lain dari dia yang membawaku mendekatinya sejak awal.

"Eh, grab-nya udah sampe. Yuk, balik sekarang," ujar salah seorang temannya kepada mereka. Aku menawarkan untuk mengantarkan wanita yang sedang berada di pelukanku ini. Namun temannya menolak dan mengatakan bahwa mereka harus pulang bersama. Aku pun melepas genggamannya dan mengelus tangannya yang lembut itu, untuk terakhir kali. Lalu ia berjalan menjauh bersama teman-temannya ke arah pintu keluar. Aku masih menatapnya sambil duduk di bar itu dan menyalakan lagi sebatang rokok terakhir yang ada di kotak rokokku.

Kini dalam kamar kostku. Aku masih memegang anting emas itu sambil berusaha merekonstruksi bayangan wajahnya yang agak samar dalam benakku. Ah, mengapa tak kuminta kontaknya.. bahkan sekedar menanyakan namanya pun tidak. Lantas harus kukemanakan anting yang hanya sebelah ini?

Lalu aku tersenyum, kemudian berdiri dari tempat tidurku. Kugantung anting emas itu di ujung rak buku. Terkadang kita hanya ditakdirkan untuk bertemu, bukan? Tidak lebih dari itu. Aku menggelengkan kepala dan tertawa geli mengingat peristiwa kemarin malam. Lalu aku masuk kembali ke dalam kamar mandi dan menyalakan air panas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anting EmasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang