Satu

2 0 0
                                    

"Bahagia lo itu malapetaka buat gue!"

~Alvaera Damar~

***

"Nar! sttt! cepetan woy, nanti keburu banyak orang" gadis berambut pendek itu menggeram kesal akibat ulah sahabatnya yang lagi-lagi membuatnya harus terlihat seperti partner dalam mencuri.

Sementara si gadis pencuri itu malah sedang asyik membolak-balikkan buku si empunya loker yang sedang ia jarah itu. Gadis berambut pendek itu kembali menggeram kesal.

"Kalo lo g buru-buru gue tinggalin sekarang!" ancamnya yang berhasil membuat si gadis pencuri itu menoleh dengan kesal padanya hingga membuat rambut panjangnya tersibak ke belakang.

"iya-iya sabar" ia tahu sahabatnya itu kesal, tapi hal ini juga sangat penting untuk ia lakukan karena barang yang sekarang ia cari adalah hidup matinya. Ia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya esok jika barang itu tidak berhasil ia temukan sekarang.

Akhirnya ia melihat kain berwarna merah menyembul dari tumpukkan buku-buku yang bagian atasnya sudah ia angkat sedemikian rupa agar tidak terlihat bahwa loker itu baru saja ia jarah.

"Dapat!" ia menarik kain yang tak lain adalah jersey itu kedalam tas punggung yang sudah ia bawa.

"Nara! cepeten Alva udah di pengkolan!" gadis berambut pendek itu panik bukan main, kalau mereka tertangkap basah ia sudah menyiapkan seribu-satu alasan yang akan membuat sahabatnya si sialan Nara menjadi tersangka, enak saja membawanya pada bencana. Ia bukan bermaksud menjadi pengkhianat tapi keadilan tetap harus ditegakkan.

Nara menutup loker itu dan menguncinya kembali dengan terburu-buru sebelum akhirnya menggaet tangan sahabatnya untuk berjalan beriringan bersamanya. Untung saja ia sempat menduplikat kunci loker itu untuk mengurangi kecurigaan dari si pemilik loker.

"gimana udah dapet ?" Tanya kikan dengan suara berbisik, takut jika orang yang akan berpapasan dengan mereka di depan sana bisa mendengar suaranya. Sebagai jawaban Nara hanya mengangguk singkat karena ia pun takut bahwa kedua lelaki yang sedang mengobrol seru itu malah akan curiga nantinya.

Nara berjalan ringan seperti biasanya, ia tersenyum lebar membuat kedua ceruk dipipinya nampak semakin dalam, kikan yang ikut terseret langkah Nara yang kelewat riang. awalnya hendak perotes tapi saat ia melihat sahabatnya itu tersenyum lebar membuat hatinya tak ingin membuat senyum itu pudar.

"Eh, Kak Alva ku" sapa Nara seperti biasanya.

"Alvaku ?" laki-laki berambut ikal disamping alva itu tersenyum mengejek kearah Alva.

"Enggak usah bacot lo ren!" ancam Alva dengan menunjukkan kepalan tangan kanannya yang langsung membuat rendi mengatupkan mulutnya rapat-rapat kemudian menarik garis lurus di ujung bibirnya sebagai tanda bahwa ia akan diam.

"lemah" gumam kikan melihat tingkah rendi.

" Apa lo bilang ?" Rendi terlihat tak terima dengan sindiran kikan yang ternyata mampu ia dengar.

Kikan yang merasa terpancing tersenyum sinis kearah Rendi,
" oh lo ngerasa ternyata"

"Lo gak ada hormat-hormatnya ya sama kakak kelas"

"lo mati dimedan perang dulu sana kalo mau gue hormatin!" jawab kikan lebih sinis dari sebelumnya, Dari raut wajahnya saja Nara tau kalau Rendi akan menonjok kikan jika kikan adalah laki-laki. Jadi sebelum keadaan bertambah panas akhirnya nara mengajak kikan pergi, walaupun rasa rindunya pada Alva belum sepenuhnya terobati.

"udah yuk ki, lo kan harus nganter gue" Nara menarik kikan sebelum ia mengeluarkan berbagai macam makian nantinya.

Alva yang tadinya tidak peduli pada perkelahian sahabatnya dan kikan langsung menoleh kepada perempuan yang selama ini dianggapnya titisan dedemit itu.

BLIND SPOT (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang