Satu

23 0 0
                                    

Pertemuan pertama bisa di mana saja. Entah sengaja atau tidak sengaja. Tetaplah sebuah pertemuan pertama yang berkesan.

***

Aku masih berdiri di antara barisan rak-rak yang berjejer di Toko Buku. Melihat-lihat, sesekali memandang ke luar jendela kaca, orang-orang di jalanan yang nampak sibuk. Beberapa di antaranya berlari kecil sebab rintik hujan mulai turun.

Sebenarnya, aku sudah selesai dari tadi memilih novel apa yang akan kubeli hari ini. Tapi berhubung hari masih sore, pun juga sedikit gerimis. Aku memutuskan berlama-lama saja di sini.  Bisa cuci-cuci mata lihat Kakak-kakak mahasiswa tampan, atau Dedek-dedek SMP gemes yang imut dipandang.

Buku-buku Tere Liye adalah favoritku sampai saat ini. Paling suka sih yang berjudul 'Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin', meskipun teman-temanku bilang bahwa cerita ini tidak masuk akal, cenderung perfeksionis. Tapi aku tak peduli, aku menjadikan DYTMA sebagai favorit. Apalagi kebaikan Om Danar. Yeah, meskipun dia seorang pengecut dalam hal percintaan, tapi dia adalah tokoh yang baik bak malaikat. Sampai sekarang dia adalah tokoh central yang kukagumi.

Ngomong-ngomong tentang buku. Sepertinya aku ingin menambah satu lagi untuk bacaan bulan ini.

Aku berjalan di jajaran rak yang memajang buku-buku dengan topik yang lumayan berat. Seperti buku yang ditulis oleh Eka Kurniawan, Leila S Chudori, dan tak ketinggalan pula Ulama tercinta kita Buya Hamka. Aku mengambil buku yang berjudul 'Laut Bercerita' karya Leila S Chudori yang ramai dibicarakan di Instagram tempo hari. Aku jadi penasaran dengan isinya. Katanya sih, buku ini mengangkat issue tahun 1998 lalu, di mana masa Orde Baru akan dilengserkan. Saat di mana banyak mahasiswa dan para aktivis hilang disandera atau diculik dan sebagainya. Aku benar-benar belum memahami bagaimana detail kejadian tersebut. Hanya dengar-dengar saja sekilas-sekilas. Tak pernah benar-benar mempelajari apa yang terjadi pada masa itu. Mungkin karena aku masih duduk di bangku SMA, jadi topik-topik berat seperti ini kurang menarik di kalangan seumuran kami. Padahal, topik-topik seperti inilah yang menurutku sangat menarik.

Aku melihat jam di ponsel, sudah menunjukkan pukul 16:00 rupanya. Waktunya pulang. Ibu pasti sudah menunggu dengan menu ayam goreng dan sambal merconnya. Kami sekeluarga akan janjian makan malam bersama hari ini. Waktu yang jarang dilakukan karena biasanya kami selalu sibuk dengan urusan masing-masing, makan sendiri-sendiri biasanya.

                                 ***

Baru saja hendak ke kasir, di hadapanku terdapat pria yang tengah sibuk memilih-milih buku. Bukan. Bukan memilih bukunya yang membuatku heran. Tapi pria itu ke Toko Buku dengan 6 orang anak kecil, yang mungkin usianya sekitar 7 tahunan, 2 laki-laki, 4 perempuan. Oh ... jangan lupakan bayi orok yang ada di gendongannya. Tentu saja pemandangan yang tak lazim ini membuatku tertarik untuk mengamati pria itu. Wajahnya sekitar umur 25-an tahun, lumayan tampan, rambutnya hitam. Pakai kemejan warna biru muda, celana jins abu-abu yang sangat serasi. Fashionable, tapi kok ....

Aku yang penasaran memutuskan mendekati mereka, berjalan ke arah anak kecil perempuan yang rambutnya dikepang dua. Ih ... gemes. Giginya besar-besat di depan. Anak itu langsung menoleh saat aku mendekat dan langsung saja tersenyum kepadaku. Lebih tepatnya sih meringis.

"Kakak cantik, mau cari apa? Buku ya? Kayak Om Jimin?" tanya anak kecil tadi. Bahkan anak ini sudah merengkuh lenganku. Mudah sekali akrab dengan orang asing. Eh, apa wajahku familier dengan mereka atau antara aku memanglah imut original sehingga membuat anak kecil mudah tertawan.

Aku yang bingung dengan keadaan yang begitu cepat menatap ke sekeliling. Pria itu ternyata memperhatikan adegan kami berdua (aku dan anak kecil tadi). Mata kami tak sengaja bertemu. Aku tiba-tiba saja merasa mati rasa untuk beberapa detik ke depan karena terpaku oleh bola matanya. Indah, menawan, teduh.
Aku bukannya anti anak kecil. Hanya saja aku tidak terbiasa.

Aku menggelengkan kepala. Tiba-tiba saja pria itu tertawa, lantas kembali lagi memilih buku yang -- mungkin -- hendak dibelinya. Senyumnya masih terlihat di tahan-tahan.

Aku merasa canggung untuk beberapa saat. Tapi kupikir tak mengapalah kalau sedikit tanya-tanya kepada pria itu. Apa dia menikah muda, apa dia pengasuh anak, apa dia---.

"Om Jimin adalah Om Kami, Kak. Lebih tepatnya orang baik yang sudi menampung kami." tiba-tiba saja bocah laki-laki berusia sekitar 7 tahunan menyeletuk di sampingku. Seakan-akan ia bisa membaca pikiran, dan sukses menebak isi kepalaku.

Aku mengangguk menanggapi penjelasan bocah itu. "Terima kasih penjelasannya, Dek. Kamu kaya tahu aja aku lagi mikirin apa." ucapku pada bocah itu yang sekarang juga menatapku. Lebih tepatnya menatap penampilanku dari atas sampai bawah. Aku sedikit risih, menutupi dadaku dengan tas punggung yang kupindah ke depan.

"Tatapan Kakak mengintimidasi Om Jimin sekali. Aku tidak terima jika ada yang berprasangka buruk terhadap Malaikat kami. Barang se-upil saja kalau kami tahu, kami akan menentangnya." ucap bocah itu dengan lugas. Ya Tuhan ... anak ini memiliki daya intimidasi yang sangat tinggi. Ia juga mengenakan kacamata yang mengidentifikasikan bocah ini sebagai bocah pintar.

Aku mengangguk. Mengarahkan jempol kepadanya, "Pokoknya kalian keren! Makasi ya, Kakak mau duluan."

Setelah menanggapi bocah itu, aku mengurungkan niat untuk menyapa pria tadi. Anak-anak yang bersamanya saja sudah sangat mengerikan, lantas bagaimana dengan pria itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika pria itu bisa menerka bahwa aku sering bolos sekolah, bergadang demi nonton drama, dan juga ngupil. Macam cenayang. Itu mengerikan.

Lebih baik aku jauh-jauh saja lah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Beda UsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang