3. Canggung Itu Nyata

6.1K 354 4
                                    

Happy Reading

"Rani anak Dewan Ambalan kan?" tanya Alfian yang masih terkejut melihat Rani yang tiba-tiba muncul dihadapannya.

"Iya Mas.....eh maksud saya Pak" jawab Rani dengan kikuk.

Mereka sama-sama terkekeh dan salah tingkah. Mendadak pendingin ruangan tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena atmosfer masih terasa begitu panas.

"Ehmmm silahkan duduk Ran. Btw nggak perlu terlalu formal, kita kan udah kenal lama" kata Alfian untuk mengurangi kecanggungan.

Bukannya rileks, Rani malah tambah canggung. Memang begini ya rasanya bertemu kembali dengan orang yang pernah memporakporandakan hati kita dulu. Sungguh kecanggungan yang terasa begitu kentara.

"Tetapi ini kan di tempat kerja, nggak enak saya kalau panggilnya Mas".

"Yaudah terserah kamu. Senyaman kamu aja. Kita mulai ya interview nya. Nggak usah tegang gitu, aku kan nggak bakalan gigit kamu". Garing banget nggak sih candaan Alfian haha.

Rani hanya tersenyum karena tidak tahu harus berekspresi bagaimana. Baginya bertemu dan ngobrol dengan Alfian itu adalah hal yang langka. Dulu saat SMA pun mereka hanya sesekali bertegur sapa tanpa adanya obrolan.

Kurang lebih satu jam Alfian interview Rani dengan suasana yang begitu canggung. Mereka tidak hanya membahas tentang seputar akuntansi, namun juga bercerita tentang kehidupan masing-masing setelah lulus dari SMA.

"Jadi kamu ini belum wisuda? Padahal kalau nggak salah ini masih masuk semester genap ya?" tanya Alfian.

"Iya Pak. Alhamdulillah skripsi saya mulai kerjakan dari semester 7 dan baru sidang dua minggu yang lalu. Wisudanya masih 6 bulan lagi" jawab Rani dengan formal.

"Hebat banget ya kamu bisa menyelesaikan skripsi dengan waktu yang singkat" puji Alfian.

"Alhamduillah Pak semua urusan skripsi saya dipermudah Allah".

"Boleh dong aku datang pas wisuda kamu nanti?". Entah keberanian dari mana seorang Alfian berkata seperti itu.

"Ehhh...... maksudnya gimana Pak?"tanya Rani yang bingung dengan maksud perkataan lelaki di depannya ini.

"Ehmmm lupakan aja. Sebenarnya sekarang saya bisa langsung menerima kamu kerja di sini, tetapi saya juga harus berunding dengan tim yang lain. Jadi siap-siap aja besok atau nggak lusa akan aku hubungi lagi. Nomor kamu benar yang ada di CV kamu kan?"

Oke fix Rani kecewa. Bukannya memperjelas maksud dari kata-katanya malah dia mengalihkan pembicaraan. Tapi it's okay, memangnya dia siapanya Alfian. Halu deh kamu Rani.

"Iya Pak, nomor saya yang ada di CV".

"Udah jam makan siang nih, mau nemenin makan nggak? Ya itung-itung reuni anak Dewan Ambalan gitu. Tapi kalau nggak mau nggak apa-apa kok". Modus banget Pak Alfian hahaha.

"Maaf, bukannya saya nolak tetapi saya udah ada janji dengan teman-teman saya. Next time mungkin saya nggak akan nolak".

Yesss!!!! Itu adalah kode lho. Oke next pertemuan bakal aku tagih. Dan karena aku lama berkecimpung di dunia Pramuka, jadi paham tentang kode-kode macam itu hahaha (batin Alfian kegirangan)

*******

Kini tiga orang gadis yang telah melakukan interview tengah duduk di sebuah cafe di dekat bank tersebut.

"Gimana guys tadi interview nya?" Ica mulai membuka suara setelah memesan makanannya.

"Not bad lah, cuma tegang aja ditatap Pak Alfian kayak gitu seakan mau nerkam aku aja" sahut Fitri yang disambut gelak tawa Ica.

"Eh iya Ran, ternyata orang tadi itu Mas Alfian ya, kakak kelas SMA kita. Ingat nggak sih kamu?". Pertanyaan Ica sukses membuat kepala Rani menoleh dan bersamaan ada dua laki-laki masuk, salah satunya Alfian.

"I--iya ingat kok" jawab Rani yang berusaha fokus dengan ocehan Ica, namun gagal karena kini netra nya sedang beradu pandang dengan netra Alfian.

"Heyyyy kamu kenapa sih? Oalah ternyata sedang menatap calon atasan ya? Iya tahu Pak Alfian itu ganteng tapi nggak gitu juga ngelihatnya kali Ran" teriak Fitri yang ternyata tahu kalau Rani sedang menatap Alfian.

"Apaan sih nggak ngelihatin kok. Ya pas aja aku noleh dia nya datang" elak Rani.

"Kok pipinya merah ya? Kamu ada apa-apa ya sama pak Alfian?" goda Fitri.

"Nggak lah. Iya emang aku udah kenal sama dia lama tapi ya kita nggak terlalu dekat. Tanya aja Ica kalau nggak percaya". Rani berusaha meyakinkan temannya itu sambil menepuk pipinya agar tidak terlihat blushing.

"Bukannya dulu Mas Alfian suka sama Sari ya? Tetapi kayaknya nggak sampai jadian sih". Fix Ica kenapa malah membuat Rani menggali memori-memori di SMA yang ingin ia lupakan.

Topik tentang Alfian akhirnya teralihkan dengan percakapan lain. Khas perempuan, apapun bisa dijadikan bahan obrolan.

*****

Rani POV

"Assalamualaikum Mama, kakak pulang" salam Rani yang langsung dijawab oleh sang Mama.

"Waalaikumsalam kak. Gimana? Ada kendala nggak? Lancar kan interview nya? Diterima nggak?" tanya Mama Yanti secara beruntun.

"Alhamdulillah lancar Ma. Doakan aja ya semoga diterima. Pengumumannya dua hari lagi kok" jelas Rani.

"Yaudah kamu istirahat dulu sana, udah makan?"

"Udah Ma, tadi sama temen-temen. Di sana aku ketemu sama Fitri dan Ica. Yaudah Ma aku ganti baju dulu ya".

Ya, Mama memang mengenal Fitri dan Ica karena beberapa kali mereka ke rumah untuk sekedar main atau mengerjakan tugas.

Setelah ganti baju yang lebih santai, aku mendengar dering telepon ku. Ternyata dari sahabatku saat SMA, Disa Nur Khasanah.

"Haloooo Didis kuuuuu. How are you today?" sapaku terlebih dahulu.

"Sok bahasa Inggris deh kamu hahahahaha. Btw lagi seneng banget buk? Girang banget. Gimana tadi interview nya?". Disa memang tahu bahwa jaru ini aku mendapat panggilan interview.

Itulah kalau Rani dan Disa sudah terlibat pembicaraan. Mereka bersahabat sejak kelas 11. Mereka sering curhat satu sama lain hingga kini Disa melanjutkan kuliah di kota Kembang. Prinsip mereka "jarak dan waktu nggak akan mengubah persahabatan kita". Tetapi ada satu rahasia Rani yang nggak seorangpun tau. Tentang perasaannya kepada laki-laki yang tadi meng-interview nya. Karena memang Rani tidak ingin ada yang tahu tentang kisah cinta bertepuk sebelah tangannya itu.

"Alhamdulillah lancar. Bukannya sombong ya, tetapi kemungkinan besar bakal diterima. Doakan ya Dis. Btw kamu tahu siapa yang interview aku tadi?"

"Ya mana aku tahu Rantangku sayang. Emang siapa sih? Atau jangan-jangan salah seorang gebetanmu dulu ya?"

Rantang adalah nama panggilan untuk Rani dan Didis adalah nama panggilan untuk Disa. Memang aneh mereka berdua itu.

"Ingat Mas Alfian nggak? Kakak kelas kita SMA" jelas Rani.

"Yang anak Dewan Ambalan tengil itu ya?"

"Hahahaha iya, kamu tuh ya yang diingat malah tengilnya hahahaha".

Informasi aja memang Mas Alfian itu semasa SMA tengil, jahil, kalau bicara suka seenaknya. Tetapi aslinya dia itu baik banget. Mungkin itu yang membuat aku jatuh hati kepadanya.

Dua jam berlalu, akhirnya Disa memutus panggilannya. Untungnya aku nggak kecplosan bilang grogi dan canggung saat interview, bisa ketahuan kalau aku pernah ada perasaan dengan seorang Alfian. Setelah itu aku masih terngiang-ngiang dengan perkataan Alfian yang ingin datang ke wisudaku kelak.

"Boleh nggak sih aku berharap kalau tadi dia nggak keceplosan. Semoga aja ya. Eh tapi kenapa aku masih deg-degan ya saat bertatap dengan dia padahal udah lama aku mencoba move on. Huhh udahlah biarin mengalir aja, udah lelah aku tuh kebanyakan berharap sama laki-laki" oceh Rani di dalam kamarnya seorang diri.

****

Cintaku Seorang Akuntan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang