Kian ortodoks dari banyak janji dan nostalgia
Kita adalah elusif saban tiap-tiap
Jadi, apakah itu lebih distingtif?🌟
Hoseok mengerjap beberapa kali, cahaya lampu yang masuk pada netranya membuat kesakitan walau sepenuhnya tak begitu terang, tapi tetap saja, menyakitkan. Ia menggeliat kesana kemari untuk melemaskan otot-ototnya. Pusing masih melandanya, semalam ia tak pulang. Memilih untuk menginap di base camp ketimbang kembali dengan kondisi setengah euforia, dan mendengar amukan dari Sia.
Lalu, setelah kesadarannya pulih betul, ia terduduk, memijat sebentar kedua pundaknya yang sedikit tegang kemudian menaruhkan kedua tangannya pada atas paha, menatap lantai kotor yang jadi tempat berpijaknya, kenapa kotor sekali? "Masih mampu hidup rupanya?"
Hoseok menoleh ke sumber suara, mengerutkan keningnya sejenak lalu berubah menjadi Jung Hoseok yang kelam. Rahangnya terpaku begitu keras, netranya berubah tajam, serta urat yang mulai muncul disekitar tangan serta lehernya. Wajahnya berubah jemawa. Dakasanya terduduk tegak, memperhatikan gerak-gerik si pemuda dengan helai pada kepalanya yang di warnai ungu italic.
"Oh, hei. Tenang, bung." Pemuda itu berjalan begitu gampang. Mendudukkan bokongnya pada sofa sebelah Hoseok tanpa dosa. "Tak mau menyapaku dulu?" Ia tersenyum, seolah ini ialah pertemuan antar dua orang yang saling terpisah jarak dan waktu sekian lama.
"Bajingan." Umpat Hoseok yang memang ditujukan pada pemuda itu tanpa ragu sedikitpun. Melihat dengan tatapan tak suka.
"Wah, aku kecewa," katanya sambil menaruh tangan kanannya pada dada kirinya dengan muka sedih yang dibuat-buat, "ku kira kau akan menyambutku dengan suka cita." Lanjutnya.
Hoseok tersenyum tak habis percaya, begitu hendak pergi meninggalkan konversasi tak menyenangkan itu, ia kembali bersuara. "Ikut aku."
Mau tak mau Hoseok menoleh kembali pada wajah yang teramat ia benci. Menatapnya bingung, walau sebenarnya wajah tak minat yang lebih mendominasi. Kalimat yang baru saja pria itu lontarkan memang menarik, mungkin bisa menjadi tali baginya untuk keluar dari kubangan dosa ini. "Kau jadi buronan sebab sudah mengedarkan obat-obatan. Dan juga," belum sempat ia merampungkan, Hoseok memilih meninggalkan dengan suara pintu yang terdengar agak keras.
Masa bodoh dengan tawaran itu. Lagi pula Hoseok sudah jatuh terlalu dalam. Ia masuk tanpa permisi lalu keluar dengan kondisi apik? Konyol sekali. Dosanya sudah menggunung, mau diperbaiki bagaimanapun, tempatnya bernaung kelak tetap satu. Neraka. "kau telah membunuh adikmu sendiri."
•
[Strawberries and cigarettes]
•Di dalam kota yang saling mengasingkan ini, Hoseok berjalan pelan, mengeratkan jaket kulit pada tubuhnya sebab dingin mulai menggerogoti tubuh kerempengnya. Beberapa kerumunan manusia dalam berbagai tempat dan waktu memandang aneh padanya, Hoseok tak peduli. Tak peduli sebab mukanya telah babak benyok-lagi, dan darah yang mengucur di pelipisnya, perkelahian antar manusia tak bisa ia lewatkan lagi. Terlebih dengan diperparah dengan keterlibatannya dengan gembong narkoba yang menyuruhnya ini itu. Sebagai kurir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Strawberries and Cigarettes
Fanfiction[Croire Cluster Project] To the life of giving up I let myself go away Disclaimer : this is a work of fanfiction using BTS owned BigHit Ent as visualitation cast. The plots and characters are mine.