|Paradigma Kontekstual|

199 15 14
                                    

Keluarga tak terbentuk karena ikatan cairan plasma, melainkan mengenai rasa adapun dilafalkan cinta.
.

Keluarga tak terbentuk karena ikatan cairan plasma, melainkan mengenai rasa adapun dilafalkan cinta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

--

Sepertinya baru kemarin Hoseok pulang dengan luka babak belur sebab pukulan yang membuatnya memiliki beberapa lecet dan bengkak serta tampak biru lebam. Ini memang resiko dari pekerjaannya, pikirnya. Tapi memang begitu kenyataannya. Sebab pekerjaannya tak jauh-jauh dari kolam keruh tempat bernaung para penghuni cela dunia. Hanya di dunia itu Hoseok hidup, bukan dalam arti yang sebenarnya. Ia hanya mengais pundi kertas untuk bertahan. Bersama dengan mengonsumsi serbuk putih memabukkan, juga amfetamin yang menyegarkan.

"Berhenti melakukan ini pada dirimu." Cicit seorang yang benar-benar membuat telinga Hoseok panas.

"Aku bisa bekerja jika kau mau." Bagai dilempar balok es, kesadaran Hoseok direnggut paksa walau sebenarnya pusing masih merajalela di kepala kecilnya. Jangan ucapkan kalimat itu.

Hoseok tak suka.

"Tidak, kau harus disini. Maksudku tetaplah di dalam rumah. Tempat ini aman, dunia luar begitu berbahaya, Sia." Kalimat itu sudah berulang kali mencuat begitu seringnya. Membuat Sia jenuh sebenarnya, tapi apa boleh buat, Hoseok yang superior disini. Bukan dirinya.

"Tapi aku tak suka melihatmu begini." Lalu ia menempelkan kapas berlapis obat merah disekitar bibir Hoseok dengan darah yang mulai mengering, membuatnya meringis.

"Aku begini karena kita butuh uang untuk hidup. Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang. Kau tahu, kan?" Lagi-lagi Hoseok bertitah, dia adanya benarnya, atau memang begitu kenyataannya?

"Ya, kau benar. Tapi apa harus seperti ini?" Ia berhenti sesaat setelah menguarkan kalimatnya. Menatap Hoseok lamat-lamat, khawatir, cemas, marah, nampaknya sedang membentuk black hole di bola mata cokelat kesukaan Hoseok yang siap menariknya kapan saja. Tapi tidak, ia tak semudah itu jatuh lagi, ia harus menjadi tameng bagi adik kecilnya, ia siap akan semua konsekuensi dari segala perbuatannya. Asal Sia masih bisa tersenyum padanya, ia rela melakukan apa saja. Hanya Sia yang ia miliki.

Satu-satunya keluarga yang ia miliki, Jung Sia.

"Aku lapar." Rengeknya supaya topik kali ini tak dibahas terlalu dalam. Malas sebenarnya Hoseok harus terus-menerus menjelaskan jawaban dari pertanyaan retorik. Semuanya hanya untuk Sia.

"Aku memasak kimchi jjigae. Mau kupanaskan?" Hoseok mengangguk antusias, dengan mata bersinarnya yang menyala terang serta senyum yang nampak bersemangat. "Lain kali masak sendiri, ya? Aku tak bisa terus-menerus memasak untukmu." Hoseok mengerutkan keningnya hampir tiga lipatan. Bahkan Sia sudah meninggalkannya menuju dapur namun rasanya seperti ia sendirian di sini. Di ruangan pengap ini.

Dengan segera ia membawa tungkainya menuju dapur. Ikut bergabung walau pada akhirnya ia hanya duduk di kursi sambil mengamati gerak-gerik Sia yang begitu cekatan.

Strawberries and CigarettesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang