Part 3 : Wawancara

27 1 3
                                    

"Kalau kamu punya pacar, kamu bakal prioritaskan pacar, atau UKM?"

***
"Pip!"

Suara notifikasi hp jadul -iPhone 4- menggema di koridor kelas yang sepi. Risda membuka aplikasi berlogo kolom chat berwarna hijau dengan logo telefon rumah. Aha! Notifikasi grup baru. Grup calon anggota UKM Pers Mahasiswa (PersMa)

"Selamat siang, perkenalkan nama gue Oplak, gue dari UKM PersMa ingin ngelist lo lo pada nih, siapa aja yang bisa ikut tes wawancara sama gue, pilihan hari tersedia ya!"

Mata Risda terfokus pada iPhone nya, memilih untuk memastikan hari dimana ia bisa mengikuti wawancara. Setelah itu ia menoleh pada Meysia, yang masih asyik dengan android nya.

"Sia, udah milih jadwal wawancara UKM PersMa belum?"

Meysia menoleh, kemudian nyengir lebar.

"Maaf ya Da, gue kayaknya engga jadi deh masuk UKM PersMa. Gue mau masuk Himpunan aja." Meysia meneguk air mineralnya. "Gue mau melatih leadership gue. Tapi gue tetap masuk UKM kok. UKM Wibunsta."

Wibunsta, UKM para jejepangan di kampus padahal tidak ada program studi sastra jepang disini. Gokil. Dengan pernyataan barusan, Risda tersadar dari satu hal, tidak ada tebengan untuknya saat ia pulang malam -ehm, rumah Meysia dan Risda satu arah, by the way-

Jawaban Mey tadi sekaligus pernyataan, bahwa hari ini ia harus menyiapkan mental

***

Di depan ruang UKM, terdapat satu buah meja besar dengan 2 buah kursi panjang di sisinya. Dengan berbagai jenis tanaman yg tersebar membuat kesan taman depan UKM ini hidup. Sebetulnya, ada 3 - 4 UKM di depan sini. Namun, UKM PersMa yang berada di ujung, jelas memiliki lahan lebih yang mampu disulap menjadi taman. Membuat orang yang lewat akan melirikkan matanya, entah bertegur sapa dengan para penghuni PersMa atau hanya mengagumi tangan terampil pengurus taman.

Di bangku panjang itu, seminggu yang lalu Risda baru saja bertemu Ranu -atau Oyeng- dengan temannya Faris. -atau Oplak. Sumpah ya, Risda ga ngerti, harus banget gitu bikin nama lain? Mana ga ada nyambung nyambung nya banget- Dan sekarang, di sana sudah ada Bang Oplak -seperti itu seharusnya Risda memanggil. Senior meen- dengan seorang temannya, yang Risda tidak mengenalinya. Keduanya asik berbincang, tentu dengan rokok di tangan dan secangkir kopi di dalam gelas plastik.

Risda menghela nafas. Susah nih kayaknya. Dari Mushalla tempatnya duduk saat ini, terlihat jelas muka Bang Oplak, cukup terlihat seperti bapak-bapak walau tidak berkumis. Rambutnya yang semi gondrong terkadang ia sibak ke belakang. Matanya tajam, seperti mata elang. Namun mata itu memiliki eye smile, menambah pesonanya.

Sementara kawannya, tidak terlalu terlihat dengan topi yang ada di kepala. Hanya saja, dari postur tubuh, temannya lebih terlihat seperti junior Bang Oplak.

Risda menghela nafas sekali lagi. Duh ilah, kenapa ia jadi penguntit sih disini?? Seharusnya, selepas shalat tadi ia langsung menghampiri Bang Oplak, memberi kesan baik dengan tidak datang terlambat. Cewek berhijab itu melirik jam tangannya. Pukul 15.56. 4 menit lagi ia harus tiba di hadapan Bang Oplak juga tidak ingin di cap jam karet.

"Da, ngapain disini??"

Sesosok cewek berkacamata lebar dengan hijab itu menepuk pundaknya. Risda otomatis menoleh. Aleeya Nuraisha Thahira. Risda mengenalnya dari masa Ospek kemarin. Dengar-dengar, ia juga menjadi salah satu penghuni grup calon anggota PersMa.

"Gue lagi nunggu wawancara nih." Sahut Risda, seolah teringat sesuatu, ia kembali membuka mulutnya. "Lo enggak ikut wawancara PersMa?"

Aleeya nyengir. "Gini nih kalau grup tidak difungsikan dengan baik. Padahal gue udah ngelist di grup. Gue wawancara 2 hari yang lalu, Da."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Partner as My HatersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang