Seekor kucing berkenalan dengan seekor tikus. Si Kucing berpenampilan gagah, sangat ramah, dan pandai berbicara. Ia selalu berbicara tentang persahabatan dan kesetiakawanan. Tikus terpesona dan benar-benar ingin menjadi sahabat sejati si Kucing. Tikus akhirnya setuju ketika diajak tinggal bersama di satu rumah menjelang musim dingin.
Kita harus membeli persediaan makanan untuk musim dingin, supaya tidak mati kelaparan,” usul Kucing. "Tapi aku tahu, kamu pasti tidak berani pergi kemana-mana, Tikus Kecil! Kamu pasti takut terjebak dalam perangkap, kan? Jadi, biar aku saja yang mengurusi persediaan makanan kita,” kata Kucing lagi.
Tikus setuju dengan usulan Kucing yang tampak cerdas itu. Tikus pun memberikan tabungannya untuk membeli mentega.
Akan tetapi, mereka tidak tahu harus menyimpan makanan mereka dimana. Akhirnya, Kucing kembali memberi usulan,
"Tikus Kecil, sepupuku baru saja melahirkan seekor bayi kucing berbulu putih bintik cokelat. Ia mengundang saya untuk datang melihat bayinya. Bisakah kau membereskan rumah ini sendirian? Aku akan pergi beberapa hari…”
"Tentu saja. Kalau ada makanan, tolong bawakan sedikit untukku,” kata Tikus tanpa curiga. Tikus sangat bangga bisa menjadi sahabat Kucing. Ia tidak keberatan membersihkan rumah sendirian.
Namun, semua itu hanya tipu muslihat Kucing. Ia tidak memiliki sepupu. Kucing malah pergi ke gudang makanan Pak Wali Kota. Ia melompat ke sudut gudang dan mendekati kendi mentega. Dengan lahapnya, ia pun menjilati bagian atas mentega dengan nikmatnya.
Setelah itu, ia berjalan-jalan di atap gedung-gedung di kota. Ia membentangkan badannya di rumput taman, menikmati sinar matahari. Sesekali ia menjilati bibirnya sambil memikirkan kendi berisi mentega itu.
Ketika malam tiba, Kucing pulang ke rumah lagi.
“Ah, akhirnya kau pulang,” sapa Tikus gembira. “Tentu ini hari yang menyenangkan! Siapa nama keponakan barumu?”
“Namanya, Lapisasanatas,” kata Kucing dengan nada datar.
“Lapisasanatas?” seru Tikus keheranan. “Itu nama yang aneh!”
“Tidak ada yang aneh," kata Kucing "Aku dulu malah dijuluki si Pencuririroti!”
Beberapa hari pun berlalu. Kucing kembali tak sabar lagi ingin mencicipi mentega persediaan makanan. Maka ia kembali berkata pada Tikus,
“Tikus kecil, tolong rapikan dan jaga rumah lagi, ya! Sepupuku yang lain melahirkan anak juga. Anaknya berbulu cokelat berhias bulu putih di sekeliling lehernya. Sepupuku ingin aku melihatnya. Aku tidak tega menolak.”
Tikus kecil mengangguk setuju. Maka Kucing pun pergi dengan gembira. Tentu saja ia kembali menyelinap ke gudang makanan Pak Walikota. Tanpa mengingat sahabatnya si Tikus, Kucing melahap setengah kendi mentega itu.
“Ah, betapa lezatnya, kalau makan sendiri,” gumamnya girang.
Ketika pulang ke rumah, Tikus kembali menyapanya tanpa curiga.
“Siapa nama keponakan barumu?”
Sisasaseparuh!” jawab Kucing.
“Sisasaseparuh? Aku belum pernah mendengar nama seaneh itu!”
Kucing hanya tersenyum, namun air liurnya menetes saat membayangkan lezatnya mentega di kendi. Maka ia berkata lagi,
“Maaf, Tikus kecil. Besok, aku harus pergi sekali lagi. Keponakanku yang ketiga telah lahir. Bulu tubuhnya hitam pekat, hanya keempat kakinya yang berbulu putih. Sepupuku sangat bangga pada anaknya itu, sehingga dia memaksa aku datang ke rumahnya. Kau tidak keberatan kan, kalau menjaga dan membersihkan rumah sendiri besok?”
“Lapisasanatas, Sisasaseparuh…” gumam Tikus bingung. “Benar-benar nama yang aneh. Aku jadi ingin tahu nama keponakanmu yang ketiga,” kata Tikus.
“Oh, tunggulah dengan sabar di rumah, dengan jas abu-abu dan ekor panjangmu,” kata Kucing.
Tikus membersihkan rumah sampai rapi ketika Kucing pergi. Ia bekerja keras, sementara Kucing yang serakah itu memakan habis semua mentega di kendi, persediaan makanan mereka.
"Sekarang semua mentega sudah habis. Aku tinggal beristirahat,” katanya dengan perut kenyang.
Ketika Kucing tiba di rumah, Tikus kembali bertanya nama keponakan yang ketiga si Kucing.
“Namanya Habibistandas!”
“Habibistandas?” ualng Tikus terkejut. “Sungguh aneh nama-nama jaman sekarang. Aku tidak tahu artinya…” Tikus menggelengkan kepalanya, meringkuk di tempat tidur, dan tertidur.
Sejak saat itu, Kucing tidak pernah mendapat keponakan baru lagi. Sampai akhirnya musim dingin tiba. Tikus dan Kucing tidak bisa mencari makan lagi di sekitar tempat tinggal mereka. Maka Tikus teringat pada persediaan makanan mereka. Sekendi mentega.
“Kucing, ayo kita nikmati sekendi mentega persediaan kita. Pasti rasanya nikmat sekali,” kata Tikus.
"Oyaa… mentega pasti nikmat sekali,” jawab si Kucing.
Mereka berdua lalu pergi ke gudang Pak Walikota. Keduanya mengendap masuk, dan mendekati kendi tempat mentega. Namun, betapa terkejutnya Tikus ketika melihat kendi itu sudah kosong melompong. Seketika ia teringat akan cerita-cerita Kucing.
“Ah, sekarang aku baru mengerti apa yang terjadi! Kamu, kan, sahabatku! Kenapa kamu memakan semua persediaan makanan kita berdua? Kamu pasti memakannya waktu kamu minta ijin mengunjungi… Lapisasanatas, Sisasaseparuh, dan…”
“Tidak usah banyak bicara, Tikus!” teriak Kucing.
“Dan… Habibistandas…” ucap Tikus dengan suara kecil ketakutan.
“Yaa, aku juga akan membuatmu habis tandas!” Kucing langsung menangkap dan menelan Tikus yang malang.
Begitulah nasib Tikus, yang terlalu percaya pada Kucing
Begitulah nasib Tikus, yang terlalu percaya pada Kucing yang gagah, ramah, dan pandai bicara.