"Berhenti bercanda, Mark."
"..."
"Jangan main-main, itu sudah keterlaluan."
"..."
"Aku akan berpura-pura tak mendengarnya—"
"Suhyun."
"Mark!! Apa kau tahu maksud kalimatmu barusan?!"
"Ya...,"
"..."
"... kita berpisah. Itu maksudnya."
TUK!
Aku berhenti berjalan, menunduk sambil memandangi sepatu putih yang seolah menertawakan ekspresi muramku malam ini. Tidak, aku memang tidak begitu kuat untuk bersikap baik-baik saja sekarang.
Mengabaikan ledekan tali yang membelit sepatu seperti kalimatnya yang menjerat perasaan ini, aku mundur beberapa langkah dan mendongak juga.
Punggung lebarnya ada di depan. Mark belum menyadari perhentianku tadi, dia masih menyusuri trotoar dengan langkah yang letih juga kosong. Kehampaan itu semakin kuat ketika tampak tak ada aku yang menemani di sampingnya.
Menyakitkan, menyesakkan.
Semakin terasa ketika dia menoleh ke belakang—memperlihatkan kemurungan yang tak kalah unjuk, di mana aku hanya diam dalam keheningan.
Saat itu aku tahu, kalau aku tak bisa meninggalkannya.
Tak peduli pada seberapa banyak masalah dan emosi beradu tarung, hingga sesaat kita lupa untuk apa hubungan ini terjalin. Bukankah rasanya lebih baik bertahan daripada harus berpisah?
"Aku tidak mau," bisikku menggeleng lemah dengan pandangan yang perlahan memudar, "aku tidak bisa."
Bahuku bergetar, menjadi lemah yang aku benci tak membuatku urung membanting ego untuk menangis karena obrolan tiga puluh menit sebelumnya. Percuma juga dia bermulut manis untuk mencegah hancurnya perasaanku ketika memutuskan untuk berpisah, pada akhirnya yang terjadi malam ini hanya menyakiti kami.
Padahal tak pernah sekalipun aku berpikir untuk menyerah, semua jalan berbatu yang kulalui selalu bertujuan pada satu alasan; yakni cinta.
Jadi untuk apa sebenarnya kami bersama kalau akhirnya berpisah juga? Untuk apa aku melakukan sesuatu yang membuat diri ini merugi oleh rasa sakit? Bahkan sebenarnya untuk apa aku kenal Mark?
Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja.
Kau yang tak kuat melanjutkan apa yang kita mulai, 'kan?
"Hei ...," Mark mendekat, menangkup kedua pipiku dengan ekspresi khawatir dan bersalah, "... jangan menangis."
Mark beritahu aku ...
Harus dengan cara apa aku memperbaikinya? Kembali ke masa lalu dan mengalah terus-menerus untuk masalah yang—bahkan untuk sekarang aku pikir terlalu sepele? Haruskah aku bicara banyak untuk membuatmu tak tahu apa rasa bosan? Haruskah pura-pura bodoh saja dan percaya dengan semua alasan yang kau katakan tentang kesibukanmu akhir-akhir ini?
YOU ARE READING
Blueming Day
FanfictionBagaimana denganmu? Baik-baik sajakah setelah semua yang terjadi di malam ini? Jujur, aku tidak.