Dre terbangun ketika terdengar suara bantingan pintu. Disusul dengan bantingan panci. Keributan untuk yang kesekian. Dre mencoba abai, menarik selimut, bermaksud melanjutkan tidurnya. Tapi suara berikutnya membuat dia melempar guling dan menendang selimut. Tergopoh-gopoh lari menuju pintu. Menemui sumber keributan, dengan nyawa belum sepenuhnya terkumpul.
Begitu pintu terbuka, Dre menghambur ke tubuh kecil yang tersungkur di lantai. Dia dekap erat-erat. Tangis lirih tertahan itu terdengar begitu dekat. Juga tubuh kecilnya yang gemetar.
"Heh, kamu masih anak kecil, berani-beraninya sama Bapak! Kamu mana bisa sekolah kalau bukan Bapak yang kasih duit, hah?!"
Dre mengusap lengan yang dia dekap, menuntunnya berdiri. Memutuskan untuk mengabaikan keributan di belakangnya dan membawa Amelia masuk ke lift.
"Itu anak hasil didikanmu. Lihat! Masih kecil dia menjadi pembangkang. Berani berteriak di depan bapaknya! Besar mau jadi apa dia?"
"Bapak yang kasih contoh itu ke Amelia. Bapak tolong berkaca, Amelia begitu karena dia lihat, dia ngerti kalau punya seorang Bapak yang kasar!" Sang Ibu membela, tidak terima anaknya dikatai seperti itu. Amelia belum sepenuhnya mengerti. Apalagi harus disalah-salahkan seperti itu.
Suara itu hilang ketika lift tertutup dan membawa keduanya turun.
"Bapak jahat."
Dre menoleh, meraih kepala Amelia dan membawanya ke dalam dekapannya. Seperti yang sudah-sudah, Dre hanya bisa membiarkan Amelia mengadu sambil tersedu.
"Bapak bisanya cuma mukul Ibu, Mbak."
"Kamu belajar yang rajin, biar bisa bahagiain Ibu ya."
"Bapak datang minta uang, berantakin lemari, ngerusak kue jualan Ibu."
Lift berdenting. Tiba di lantai basemen. Dre menahan pintu tetap menutup, membiarkan Amelia menyelesaikan kalimatnya. Hanya sebentar, semoga saja tidak mengganggu orang lain yang ingin menggunakan lift.
"Aku benci Bapak, Mbak."
Dre menghela napas pelan. Menatap dinding lift yang terlihat dingin dan angkuh. Dia tidak bisa menjawab hal yang justru pernah dia rasakan. Kebencian yang sama untuk alasan yang berbeda.
Tangannya bergerak untuk mengusap lengan Amelia. Memberi kekuatan sebisanya. Ketika Amelia terlihat mengusap pipi, selesai menangis, Dre melepas tangannya dari tombol lift.
Abaikan Dre yang masih mengenakan celana tidur panjang, tanktop putih dibalut cardigan hitam. Kena goda Bang Jepri yang baru membuka ruko, yang hanya dibalas decakan Dre.
"Mel, Mel, bentar." Bang Jepri menahan langkah mereka. Mengulurkan uang sepuluh ribuan. "Buat nambah uang jajan ya."
"Nggak usah, Om. Makasih."
"Nggak apa-apa, terima aja."
Amelia mendongak ke Dre yang dibalas dengan anggukan.
"Makasih, Om."
Mereka melanjutkan langkah. Ketika hendak menyeberang, Dre berpindah ke sisi kanan. Jalanan sedang padat-padatnya. Satpam sekolah saja kewalahan. Mana kendaraan yang lewat tidak mau mengalah. Mereka juga sedang mengejar waktu.
"Mbak, udah sampai sini aja. Aku bisa nyeberang sendiri." Amelia menolak Dre yang berniat mengantarnya hingga gerbang.
"Aku anterin sampai gerbang pokoknya." Dre hanya khawatir kalau anak ini kabur dari sekolah. Ya siapa tahu memang ada niatan begitu. Hanya jaga-jaga saja.
Sampai di gerbang, dengan ujung cardigan, Dre menghapus sisa air mata di pipi Amelia. Merapikan poninya yang mencuat. Menepuk-nepuk seragam sekolah yang sedikit kusut.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUTRO A.2.0.2
RomanceKarena mungkin, bahagia kita berbeda cara dengan orang lain-bahkan keluarga sekali pun. Apa yang membuat orang lain bahagia, belum tentu membahagiakan juga buat kita. Berusaha ikut bahagia, yang entah sampai kapan, atau melepas semuanya. Aku? Melepa...