Dre memasukkan ujung kausnya ke dalam celana jeans. Menaikkan ritsletingnya dengan buru-buru. Dia juga mengenakan heels dengan gesit. Ini memang baru pertama kalinya dia terlambat sejak dua bulan lalu bekerja di salah satu konter di pusat perbelanjaan.
Seraya menyugar rambut panjangnya, Dre mendekat ke etalase. Memamerkan senyum gingsulnya. Menyapa pembeli yang tiba-tiba berbelok ke konter. Lelaki berumur tiga puluhan kalau Dre tidak salah tebak.
"Ada yang bisa dibantu, Kak?"
"Saya mau cari ponsel yang praktis untuk Mama saya. Kalau bisa yang nggak licin juga."
"Sebentar ya, Kak. Silakan duduk dulu. Saya ambilkan beberapa sampel."
"Ganteng tuh, Dre." Chika, anak pemilik konter, yang biasa duduk di 'meja kebesaran' menyahut usil. Biasa, tidak punya kerjaan, kalau ada pembeli cakep sedikit radarnya langsung bekerja.
Dre hanya mengangguk seadanya, melanjutkan langkah menuju lemari kaca besar yang menempel dinding.
Namun, dengan gerakan terlalu cepat, Chika sudah turun dari 'kursi kebesaran' dan menyambar tangan Dre.
"Kenapa, Mbak?" Ada uang terselip di telapak tangannya. "Ini buat apa?"
"Beliin kopi di depan."
"Order aja. Biasanya juga—"
"Beda rasanya. Enak kalau beli langsung. Lebih berasa perjuangannya. Yang minum juga lebih enak."
Dre menghela napas. Iya, menyeberang di jalan sebesar itu memang butuh perjuangan. Apalagi ini weekend.
"Mbak suruh Ucup aja. Dia nganggur."
"Nggak, nggak. Dia pernah nilep uang kembalian."
"Cuma lima ribu ini dia nilepnya."
"Tetep aja nilep judulnya." Chika mengambil sampel ponsel di tangan Dre. "Udah, buruan, keburu hujan."
Dre menyipit curiga. Dia tahu akal-akalan Chika yang satu ini. Sudah sering terjadi. Hanya saja Dre pura-pura bodoh. Malas meledek. Hubungan mereka memang hanya sebatas anak bos dan karyawan.
Saat melewati celah di samping etalase, Dre melempar senyum karena sadar jika ditatap oleh calon pembeli tadi. Mengangguk sekilas dan berlalu. Bersamaan dengan Chika yang nyengir lebar mendekati etalase, menggantikan Dre.
Lantai satu yang menjual khusus gadget ini cukup luas—persisnya berapa meter, Dre tidak tahu. Saking luasnya, sering membuat pembeli tersesat. Mungkin butuh sekitar tiga sampai empat kunjungan baru hafal lorong-lorongnya. Bulan pertama saja Dre sering tersesat.
Daripada lantai dua tempat fashion berada, lantai ini lebih berisik. Tidak terhitung berapa konter yang ada. Setiap detik terdengar jari yang menekan angka-angka di kalkulator. Suara-suara lembut yang sedang menjelaskan fitur gadget. Bibir-bibir yang bergincu merah menyala. Serta ujung heels yang lancip terdengar ngilu saat beradu dengan lantai.
Sampai di pintu utama, Dre mengusap bibirnya. Sudah dua bulan ini dia harus merias wajah. Sudah tuntutan pekerjaan. Semua pilihan ada di tangan Dre, dan dia memilih untuk mengambil pekerjaan ini. Atau memang sebenarnya dia tidak punya pilihan lain. Dia butuh pekerjaan ini untuk biaya sewa rusun. Kalau untuk makan, dia cukup dengan gaji part time di restoran.
Dre sudah di trotoar. Menunggu jalan yang lengang. Oh, ayolah, di sini tidak pernah lengang. Jadi, ketika mobil-mobil hanya merayap, Dre merentangkan tangan kirinya. Berlarian kecil menuju kafe.
Matanya sempat menyapu isi kafe. Anak-anak muda sepantaran dirinya terlihat mendominasi meja-meja. Percakapan yang sekilas tertangkap telinga Dre. Kuliah, tugas, dan dosen yang killer katanya. Terdengar menyenangkan meski mereka obrolkan dengan nada suara yang mengeluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
OUTRO A.2.0.2
RomanceKarena mungkin, bahagia kita berbeda cara dengan orang lain-bahkan keluarga sekali pun. Apa yang membuat orang lain bahagia, belum tentu membahagiakan juga buat kita. Berusaha ikut bahagia, yang entah sampai kapan, atau melepas semuanya. Aku? Melepa...