Sepatu boots yang kugunakan menginjak genangan air, karena langkahku harus mengikuti langkah Sasori yang besar dan terburu-buru. Aku mendengus, "Kau berjalan seolah akan ketinggalan kereta!"
"Orang itu hari ini bertanding! Kita harus cepat Sakura."
Suara kucing jalanan terdengar nyaring di gang sempit seperti ini. Aku menatap punggung Sasori yang begitu antusias menonton pertandingan ilegal, lebih dari biasanya. Sasori begitu tergila-gila pada pertandingan kali ini karena jagoannya bertanding.
Ini bukan kali pertama bagiku untuk ikut dan turut menonton adegan berkelahi hingga berdarah-darah, atau bahkan parahnya mati di tempat. Aku menyukainya, jujur saja. Aku selalu terkejut dengan darah yang melompat, lawan yang terpental, dan sang pemenang yang berteriak puas. Namun itu lah momen menyenangkan yang aku sukai ketika ikut serta di tempat ini.
Suara orang-orang yang berteriak di setiap sudut ruangan sesak ini nyaris membuatku merasa tuli. Mereka bersorak, berteriak, mengacungkan minuman keras yang mereka genggam seraya meneriakkan nama-nama sang juara malam ini. Aku terbatuk ketika salah satu pria yang kulewati mengembuskan asap rokoknya ke udara. Sebuah pertandingan ilegal. Tidak setiap malam diadakan, dan hanya petarung jalanan yang ikut serta. Bukan petinju kelas dunia atau petarung sekelas dengan MMA, tetapi sekali lagi kuingatkan bahwa itu menyenangkan.
Aku berdiri cukup dekat di samping arena. Menengadah untuk melihat masing-masing petarung di atas ring malam ini. Seorang pemuda dan pria berkumis lebat. Pemuda itu tidak terlalu menonjol, otot-otot tubuhnya tidak terlalu besar untuk seorang petarung liar, tetapi wajahnya sangat mencukupi untuk menjadi aktor muda.
Pria berkumis itu maju terlebih dahulu, memasang kuda-kuda seperti biasa dan melayangkan tinju. Si aktor tersebut menghindar dengan mudah, mengayunkan tangannya dan memukul tepat di antara rusuk. Suara gemuruh penonton terdengar, meneriakkan satu nama secara bersamaan.
"Sasuke!"
Nama yang baru kudengar.
"Tubuhnya memang lebih kecil untuk ukuran petarung," Sasori bergumam di samping tubuhku. "Tapi kau akan melihatnya, bagaimana cara dia bertahan dan menelan lawan di atas ring tinju. Kudengar dia pendatang baru, dan berhasil membaringkan banyak orang."
Aku mengernyit, menatap kakakku sekilas sebelum kembali ke atas. Melihat pria berbadan besar itu menggeram dan berteriak kesal. Berlari ke arah pemuda bernama Sasuke di sana dan mengayunkan pukulan kuat. Namun gagal, Sasuke itu menghindar, dia berputar kemudian melayang di udara, dilanjutkan dengan menendang menggunakan punggung kakinya tepat di samping telinga lawan. Itu pasti menyakitkan, pria itu akan mengalami pendengaran yang berdenging beberapa detik.
Suara sorak-sorai penonton semakin menjadi-jadi. Ketika Sasuke itu memukul tepat ulu hati lawan, membuat pria itu tersujud, memegangi inti tubuhnya yang terserang. Namun itu tidak berlangsung lama, ketika Sasuke mengambil kuda-kuda, melayangkan pukulan di antara wajah pria tersebut hingga berdarah.
Dan tetesan darah itu meloncat mengenai pipiku.
Sedetik, aku menatap pada pemuda di atas ring itu dan dia juga tengah menatap ke arahku. Hanya beberapa detik, tetapi yang kurasakan dalam sekejap adalah keheningan. Seolah di sana tidak ada pasukan peneriak nama, atau orang-orang yang tengah memasang taruhan uang untuk siapa yang menang malam ini. Aku berkedip, merasa berhalusinasi melihat pemuda itu tersenyum padaku.
"Whoa, Sakura. Apa dia baru saja tersenyum padamu?"
"Um," Aku menggerakkan kepalaku. "Entahlah, mungkin tidak?" Telapak tanganku terangkat, mengusap darah pekat tersebut dengan perasaan jijik. Sial.
.
.
.
Aku memasukkan satu buku tulis, satu bolpoin dan beberapa alat tulis yang mungkin diperlukan, atau juga tidak. Aku mengusap lengan sweater cokelat pudar yang kukenakan, merapikan sedikit helaian rambut belakang kemudian berlari keluar dari kamar. Sasori tengah memanggang roti dan menyiapkan segelas susu. "Kau menyiapkan sarapan untuk anak sekolah dasar?"
"Aha, tepat sekali. Kau memang anak sekolah dasar yang menyamar menjadi mahasiswi kuliah."
Aku mendengus, duduk di salah satu kursi meja makan dan memandang Sasori dengan tatapan ayolah, kau bercanda?
"Ibu dulu mungkin salah memberimu asupan nutrisi, hingga tinggi mu bahkan hanya mencapai seratus enam puluh lima."
Sialan, dia mulai lagi. "Suasana hatiku sedang baik, Kak. Kita mulai saja sarapannya dan oh ini hampir telat untuk kau masuk kerja."
"Jam berapa sekarang?" Sasori menoleh ke arah jam dinding di atas lemari buku dan roti miliknya melayang ke udara. "Oh Mama! Apa kau bercanda?! Cepat habiskan rotimu dalam sekali telan Sakura!"
.
.
.
Aku tidak terlambat, sebenarnya. Mata kuliah hari ini dimulai jam sebelas, dan ini masih sekitar jam sembilan. Aku memarkirkan motorku di samping salah satu mobil. Berjalan ke dalam kedai kopi dan memesan satu cup sebelum belajar. Kebiasaan buruk selalu minum kopi sebelum jam mata kuliah.
"Satu, yang seperti biasa, eh?"
Aku tersenyum, barista muda yang satu ini sudah tahu yang akan kupesan sebelum bertanya. "Uh ya. Kemana partnermu?"
Dia menggerakkan sedikit bahunya, "Kevin sedang mengambil stock biji kopi di gudang, dan bos masuk shift bagian siang dengan yang lain," ujarnya. "Mau kutambahkan gula, Sakura?"
"Tidak perlu, trims." Aku mengambil cup kopi yang Cane letakkan di meja dan meminumnya sedikit. Sebelum suara keras di parkiran membuatku tersedak. Aku menoleh ke luar dan melihat motorku jatuh dan menimpa mobil di sebelahnya. "Fuck."
Aku berlari keluar, melihat motorku membuat garisan mengerikan di antara badan mobil mewah tersebut. Tak lama setelahnya, di belakang pundakku berdeham suara berat khas lelaki yang kuyakini pemilik mobil ini. "CBR dua ratus lima puluh cc ini milikmu?"
Otakku berputar menghitung jumlah uang yang harus kuganti walau hanya garisan samar pada mobil mewah. "Maaf. Kurasa aku menyimpannya tidak betul-betul berdiri." ucapku, masih belum menoleh ke belakang. "Astaga, bagaimana ini?"
Lelaki itu melangkah muncul dari samping pundakku, membenarkan posisi motor untuk kembali berdiri dan standar yang benar-benar lurus. Dia menoleh, dan napasku berembus terputus-putus.
Sial.
Dia si petarung yang kulihat tadi malam.
Lelaki itu tersenyum tipis. "Jadi ... bagaimana sekarang?"
Sasuke. Idola kakakku di arena pertarungan ilegal.
Tapi kenapa pakaiannya sangat rapi pagi ini?
.
.
.
lanjut ga ni? wkwk
komen yang banyak, tembus 60++ komentar aku lanjut cepet, haha.miss you gais:(
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sea
FanfictionAku tahu dan sangat mengerti, bahwa dekat dengannya hanya akan berujung pada lubang hitam. Seharusnya tidak seperti ini, seharusnya sejak awal aku bergerak mundur. Bukan melangkah semakin dekat, dan akhirnya ikut terjatuh dalam lautannya yang dalam.