9. Lomba Akustik

480 84 66
                                    

Joshua bertahan di dalam kelas hingga sekolah menjadi kosong. Berulang kali mengecek jam dinding yang tergantung tepat di atas papan tulis putih. Jika dihitung, sudah lebih dari setengah jam lamanya Joshua berdiam diri sendirian di sana. Dan itu artinya, masih ada waktu kurang lebih setengah jam lagi dari waktu yang diminta oleh Johan.

Merasa cukup, Joshua merapikan seluruh buku masuk ke dalam tasnya. Turun ke lantai utama. Mendatangi koperasi. Membeli minuman kaleng dingin. Sedikit demi sedikit diminum, sambil memandangi lapangan kosong. Bahkan para anggota ekstrakulikuler paskibraka telah berpindah tempat latihan ke dalam ruangan. Membuat sekolah menjadi terasa seperti sebuah gedung kosong.

Tepat di seberang Joshua duduk, ruang kelas 10 berjejer. Kelas IPA di lantai dasar dan kelas IPS di lantai 2. Berbeda halnya dengan kelas 11 dan 12 yang seluruh kelas berjejer di lantai 2, sedangkan lantai dasar dijadikan sebagai ruang ekstrakulikuler, perpustakaan, koperasi, ruang guru, dan yang lainnya. Kepala Joshua mendongak. Ingat Dikey. Adik kelasnya itu berada di kelas 10 IPS 2. Mata Joshua tepat terarahkan ke kelas tersebut.

Tumben sekali Dikey tidak mendatangi Joshua. Biasanya tidak pernah absen. Atau kalau absen, akan mengirimkan Joshua chat, menjelaskan kenapa ia harus pulang cepat. Mulai dari permintaan kedua orangtua Dikey, sampai mengerjakan tugas kelompok. Kebiasaan yang mulai berlaku sejak Joshua mengajak Dikey pulang bersama. Saat itu, sikap Dikey melonjak hingga berani meminta nomor ponsel.

Berkat ingat dengan fakta tersebut, barulah Joshua ingat. Ia belum mengecek ponsel genggam sama sekali. Tanpa banyak berpikir lagi Joshua segera membongkar isi tas ranselnya. Ambil ponsel genggam, mengecek notifikasi. Tidak ada hal yang penting. Buka aplikasi chatting, tidak ada nama Dikey di daftar pesan terbarunya.

Baiklah... Mungkin Dikey memiliki kegiatan penting hari ini.

"Josh!"

Joshua segera menoleh. Johan mengangkat tangan, meminta Joshua agar segera mendatanginya. Bergegas Joshua menuruti.

"Sudah selesai?" tanya Joshua. Menaruh tasnya di salah satu kursi. Memperhatikan Johan dan kawan-kawan anggota bandnya tengah berbenah barang pribadi masing-masing. "Tumben cepat."

Johan tergelak menahan tawa. Meninju bahu Joshua pelan. Merebut minuman kaleng Joshua pula. Diminum hingga habis. Dijatuhkan begitu saja. Secepat kilat Joshua memungutnya. "Kami sudah ahli. Enggak latihan pun, enggak bakal masalah. Cepat bereskan. Jangan pulang sebelum semuanya selesai."

Hanya dengan sebuah anggukan, Johan dan seluruh anggota bandnya meninggalkan ruang latihan dengan perasaan tenang. Tugas mingguan Joshua di hari Sabtu. Tidak pernah mengecewakan hasilnya. Joshua begitu pintar merapikan barang. Sampai-sampai ia menyarankan Joshua agar ikut pelatihan menjadi TKI saja. Tidak perlu bersusah payah mengejar nilai rapor tinggi.

Kapan lagi Indonesia mempunyai TKI berdarah Korea-Amerika? katanya. Gemuruh tawa dari seluruh pengunjung kantin terdengar beberapa saat setelahnya.

Ada beberapa bungkus camilan bercecer di lantai. Dipungut satu per satu, digabung, dibuang ke tempat yang seharusnya. Joshua mengembalikan beberapa alat musik yang diletakkan sembarangan. Tidak pada tempatnya. Bass, stik drum, gitar. Akan tetapi, khusus untuk gitar, Joshua diam sebentar memandanginya. Mendatangi pintu. Menelusupkan kepala ke luar. Memeriksa apakah masih terdapat orang lain atau tidak. Aman. Joshua membawa gitar yang ada di tangannya mendatangi salah satu kursi.

Senar pertama telah Joshua petik. Rasanya begitu melegakan. Melepas rasa rindu. Joshua lupa kapan terakhir kali ia menyentuh senar gitar seperti ini. Sebenarnya, bukan lupa. Joshua sengaja berusaha keras melupakannya. Ingat, namun pura-pura tidak ingat. Cara terampuh untuk mengubur luka lama.

Fight The World (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang