waktu itu hutan mulai bertambah dingin dan perlahan memunculkan kabut, saat itu yang kurasakan hanya takut dan gelisah saat langkah demi langkah kami menyusuri hutan harus semakin hati hati karena jarak pandang kami yang kian terbatasi oleh kabut.
Kali ini aku benar benar takut, karena hari sudah mulai gelap dan kami belum juga menemukan jalan keluar. Suara suara hewan hutan bersautan, bayangan bayangan pohon seakan menakut nakutiku.
Kabut semakin tebal begitupun dengan rasa takutku, aku hanya berjalan melihat kearah bawah sambil ku genggam erat tangan ayahku yang menuntun jalanku.
Aku tak pernah setakut ini sebelumnya, mengingat aku remaja yang terbilang sangat sering keluar masuk hutan menemani ayah berburu.
Tapi hari ini berbeda, karena kami kehilangan arah karena ayah berlari terlalu bersemangat mengejar rusa yang tertembak namun masih sanggup berlari, hingga akhirnya kami sadar telah masuk terlalu dalam ke tengah hutan, dan rusa buruan kamipun tak di temukan.
Kami terus berjalan tanpa arah pasti, lagi lagi aku membayangkan hal-hal mengerikan dalam imajinasiku, lamunanku terpecah saat mendengar ayah memanggil namaku dan memberikan jaket miliknya "celia!! ambillah, udara semakin dingin untuk seorang gadis ditengah hutan". akupun mengangguk dan meraih jaket di tangan ayahku.
Kukenakan jaket yang ayahku berikan, karena memang udara semakin dingin dan hari kian gelap.
Langkah ayahku kian melambat sepertinya ayah mulai lelah. "sudahlah yah, sepertinya kita harus bermalam dihutan, ayah terlihat lelah tidak lama lagi juga mungkin aku yang lelah" ayahpun mengiyakan ajakanku karena mungkin ia sudah benar benar lelah.
kami memutuskan bermalam di tengah hutan, sementara aku membangun tenda, ayah mengumpulkan ranting pohon untuk membuat perapian.
**********************
Tenda sudah terpasang, api unggun juga sudah membara menghantarkan cahaya dan hangatnya pada hutan yang gelap dan dingin menusuk ketulang.
"sudahlah yah ayah istirahat saja di tenda, biar aku yang mengolah logistik dan membuatkan ayah segelas minuman hangat" kataku sembari membuka tas ransel yang kami bawa untuk mengambil beberapa bahan makanan yang akan diolah.
perlahan ayah masuk ke tenda dan berbaring melepaskan penatnya hari ini. Sementara ayah beristirahat, aku mencoba mengolah bahan makanan dan membuatkan sedikit minuman hangat.
Saat itu hutan gelap gulita, satu satunya tempat terang hanya di sekitar tenda kami, api unggun lumayan menyilaukan namun tetap saja pandangan kami terbatas.
krak...krakkk krakk...
Terdengar suara ranting patah seperti langkah seseorang yang menginjak ranting dan dedaunan, aku mendadak panik karena memang cahaya api unggun menyilaukan dan membatasi pandangan.
"yahhh... ayahhh.. bangunlah sepertinya ada seseorg selain kita disini!!" ucapku sedikit berbisik.
"tenanglah celia jangan panik, sepertinya kita kedatangan tamu" ayahku berbicara dari dalam tenda dan sepertinya menyiapkan senapan berburunya untuk kemungkinan terburuk dalam situasi seperti ini.
Ayah keluar dari dalam tenda dengan senapan dan senter di kepalanya, "celia ambilah!, gunakan itu untuk melindungi diri" ayah memberiku pisau yang biasa ia pakai untuk menyembelih hewan buruannya.
Suara langkah semakin jelas terdengar, dan sepertinya tamu kami tidak datang sendirian.
Mereka kian mendekat dan samar samar terlihat di dekat cahaya api unggun.
Benar, segerombolan serigala melihat kami dengat tatapan haus darahnya yang seakan kapan saja siap untuk menerkam kami untuk makan malamnya.
Ayah menembak acak, dan sepertinya melukai beberapa serigala, aku hanya bisa melihat dengan penuh rasa takut dan panik.
Hanya beberapa serigala yang terbaring, dan menyisakan beberapa ekor srigala. Ketakutanku memuncak saat ayah berkata "itu tadi peluru terakhir ayah, selanjutnya kita cuma mengandalkan pisau dan keberuntungan, maafkan ayah jika selama ini merepotkanmu celia"
Aku hanya bisa terdiam dan menangis, tapi serigala tak tinggal diam, seekor serigala yang ukurannya lebih besar dari serigala lain terlihat berlari kearah kami dan melompat ke arahku.
Ayah mendorongku dan terkaman serigala kini mengenai ayahku, ayah sempat memberikan perlawanan dan beberapa tusukan pisaunya, namun serigala menggigit ayah dan melemparkannya ke api unggun.
"Ayaaaah ayaaaah" teriakku melihat ayah terbaring lemah kesakitan tanpa berbicara apapun.
Kini giliranku, serigala itu menatap kejam ke arahku dan langsung berancang ancang menyerangku. tak menunggu lama serigala itu berlari ke arahku. Aku melihat jelas betapa besarnya serigala itu melompat tepat di atasku.
Sayangnya hanya itu hal terakhir yang ku ingat tentang malam mendebarkan itu. Seberapapun aku mencoba mengingat tak sedikitpun gambaran atau ingatanku akan kejadian cerita selanjutnya.
Yang aku tau, aku dan ayahku terbangun di rumah sakit tiga hari setelahnya dan melihat ayah dengan luka jahitan besar di bahu kanannya. tak satupun orang tau apa yang kami lalui malam itu, mereka hanya menjelaskan bahwa mereka menemukan kami di pinggir jalan berbaring dan terluka parah.
*********************
Tak lama setelahnya kami kembali pulang kerumah, sebelumnya dokter mengizinkan kami pulang dan merasa keadaan kami sudah benar-benar membaik serta memberikan beberapa obat.Kami sudah kembali kerumah namun tetap saja tanda tanya besar masih berada di tengah hutan, masih tergiang di kepalaku betapa mengerikannya malam itu, dan tentunya aku masih bertanya apa yang terjadi setelah kami diserang kawanan serigala, mengapa kami bisa berada di rumah sakit, mengapa kami tak mengingatnya, dan siapa yang telah menolong kami.
Aku masih penasaran namun lagi lagi ayah mengatakan seharusnya kita tak perlu memikirkan hal itu terlalu jauh, yang terpenting sekarang adalah kita harus bersyukur masih di izinkan tetap hidup. Tapi tetap saja ada pertanyaan besar dikepalaku.
Lambat laun kehidupan kami kembali normal, aku mulai menjalani rutinitasku, ayah mulai pulih, namun ayah memutuskan untuk tidak kembali lagi ke hutan dan berburu, ayah selalu berfikir kalau kejadian malam itu adalah kesalahannya hingga aku terlibat.
Kini ayah bekerja di sebuah pabrik pakan ternak didekat desa kami, dan aku bekerja paruh waktu membantu toko roti milik saudari almarhumah ibuku.
Aku tidak bersekolah dikarenakan keuangan kami sangat terbatas dan biaya untuk sekolah swasta di daerahku cukup membebankan, sedangkan sekolah negeri sangat jauh dari desa, aku tidak keberatan hanya berada di rumah bersama ayah dan meringankan bebannya.
Kami mengalami banyak hal hal sulit belakangan ini, terutama saat kami harus kehilangan ibu karena kecelakaan yang terjadi 3 tahun lalu. Ayah seperti kehilangan semangatnya namun terpaksa harus terlihat tegar didepanku.
Ayah sangat takut kehilanganku, itulah sebabnya ayah juga mengajakku ketika berburu, ayah merasa bersalah atas kematian ibu, namun kejadian malam itu juga membuat ayah kembali merasa bersalah karena telah mengajakku ikut berburu.
Sesekali aku meyakinkan ayah bahwa itu bukan kesalahannya "yahh, sudah cukup, jangan merasa bersalah lagi karena hal ini, akupun tak mengizinkan jika ayah pergi sendirian tanpa aku, aku selalu ingin berada di dekat ayah , hanya ayah yang kupunya, aku tak ingin melihat ayah terus merasa bersalah".
"Jika ayah tak mengajakmu mungkin kau tak akan terluka, jika ayah menjaga ibumu mungkin dia masih bersama kita, dan kamu masih bersekolah"
"Andai saja ayah tak mengajakku hari itu, mungkin aku tak memiliki siapapun lagi, aku hidup sendiri tanpa satupun yang peduli, tanpa seorangpun yang menyayangiku seperti ayah, dan mungkin kehidupanku akan lebih buruk." mendengar kata kataku ayah hanya terdiam beberapa saat dan sontak memelukku sambil menangis.
"Berjanjilah celia, kamu harus selalu berada disamping ayah" sambil menangis dan memeluk ayahku aku berkata "celia janji yah kita akan bahagia kini dan seterusnya bersama".
**********************