Lima

117 33 26
                                    

“Heh!”

Aku menoleh culas ke asal suara, menatap makhluk di hadapanku yang tersenyum meremehkan.

“Apa sih, mak lampir...” Balasku judes.

Jingga, si ‘mak lampir’ yang menjabat sebagai ketua UKM tari tradisional memelototiku seram.

“Berani lo panggil gue begitu?!”

That’s the fact, huh? Lo kan memang mak lampir.”

“Ck, iri kali lo! Secara anak-anak teater gak ada yang secantik anak-anak tari?”

Aku memutar bola mata sambil terkekeh kecil. “Sorry, I prefer to be smart more than beautiful. Karena percuma cantik kalau gak punya otak.”

“Apa maksud lo? Beneran kan lo iri? Karena kostum dan makeup anak teater lebih jelek dari pada anak tari.” Jingga kembali menyolot.

Aku membalas dengan nada sarkas. “Tapi tarian lo itu nggak make sense. Cuma gerak-gerak asal cakep. Mana ada, tarian yang temanya 'Terbully Teman Sendiri' dan ceritanya rebutan suami?! Ngejelek-jelekin nama anak tari aja!"

“Kurang ajar lo!”

Jingga menatapku sinis, sambil mendongakan kepala tentu. Hei, anak itu pendek. Tingginya hanya sekitar 150 cm saja. Sementara aku? 175 cm. Dilihat dari sudut bumi manapun, jelas dia sangat-jauh-lebih pendek dari pada aku.

“Apaan? Mau main fisik?” Jemariku menyentil dahinya kecil, meremehkannya.

AYO GELUT!

Jingga berteriak, berusaha meraih tubuhku. Tapi jelas dia tidak akan bisa. Selain postur tubuh kami yang berbanding jauh, pakaian dodot khas Jawa yang dipakai Jingga cukup menyusahkannya. Belum lagi konde sebesar ban mobil tahu bulat yang menempel di rambutnya. Makeup tebal semakin menambah kesan suramnya. Sementara aku? Hanya memakai gaun selutut berwarna merah. Dengan makeup tipis dan rambut dikucir. Dari segi pakaian, jelas aku lebih mudah berkelit dari pada Jingga.

Yuta yang melihatku beradu dengan Jingga buru-buru menghampiri, melerai.

“Duh, jangan bertengkar! Gak malu apa dilihat orang Bandung?!” Teriak si pemuda dengan gaya rambut mullet khas 90-an.

“Mak lampir boncel duluan yang mulai!” Teriakku.

Sebelum Jingga mengamuk, seorang anak tari lainnya berhasil meraih tubuhnya. Menjauhkannya dari jangkauanku.

“Dasar atheis! Nurut kok sama sutradara, bukan sama Tuhan!” Teriak Jingga, sambil diseret anak-anak tari.

“Dasar kemayu! Tahun segini masih ngurusin pelakor!” Balasku.

Yuta melepaskan genggaman tanganku sambil menghela napas lelah. “Kapan sih lo baikan sama anak tari?”

Aku mengernyit. “Gue gak berantem sama anak tari. Gue cuma gak suka sama Jingga. Dia terlalu over!

“Sama saja! Gara-gara lo dan Jingga berantem, anak teater sama anak tari gak bisa akur!”

“Ya kalau kalian mau akur sih terserah..."

“Masalahnya kita jadi sama-sama sungkan! Ngerti sungkan nggak  sih?”

“Lho, kan sudah tak bilangi, kalau mau akur ya monggo. Kalau gue sih ogah temenan sama anak-anak kemayu dan punya pikiran pendek.”

“Lo tuh keterlaluan, Ga. Jangan mentang-mentang kita menyajikan suatu pertunjukan yang sarat makna, terus bisa bebas menghina pertunjukan lain.”

Niskala MayapadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang