06. LANGKAH PERTAMA DI TEMPAT PENUH LUKA

6.1K 485 11
                                    

Malam, Dears! ^^

Akhirnya, ketemu lagi sama Hara di lapak Aira, ya. Hampir sebulan lapak ini Hara tinggal karena terkendala sesuatu. Hehehe

Sudah siap?

Jangan lupa vote sama komentarnya, ya...

Happy reading! ^^



***


Berjam-jam perjalanan, tak mampu mengistirahatkan fisik dan mental Aira selama di pesawat. Intensitas kegelisahannya kian kerap tatkala tujuan mereka semakin dekat. Telapak tangannya berkeringat saking terlalu erat saling meremas. Manik matanya berpendar resah.

Kekhawatirannya semakin membuncah kala Aira menginjakkan kaki di bandara Soekarno Hatta. Padahal dia menghabiskan enam belas jam lebih waktu penerbangannya untuk menyemangati dan menguatkan diri. Namun, kakinya malah terasa enggan melangkah lebih jauh sehingga membuat Ardi menoleh saat dia tak sengaja bergeming.

"Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Aira. Kita hanya pulang. Ayo! Pak Burhan sudah menunggu," bujuk Ardi seraya menggamit tangan Aira.

"Pak Burhan?" Kening Aira mengernyit.

"Sopir keluargaku. Sebelum berangkat, aku sudah mengabari Mama akan kepulangan kita. Mama memintaku membawamu ke rumah Mama untuk sementara." Ardi berhenti sebentar, lantas mengambil satu langkah di hadapan Aira. Dia tersenyum teduh sembari menyelipkan sejumput rambut ke belakang telinga Aira. "Istirahat di rumah dulu, ya? Di pesawat kamu tidak tidur sama sekali. Sore atau malamnya, aku dan keluargaku akan mengantarmu pulang." Ardi menjelaskan.

Aira mengangguk mengerti. Dia memang terlalu lelah untuk meladeni pertanyaan Mama yang panjangnya pasti ampun-ampunan saat tahu Aira pulang. Kemungkinan terburuk, Mama akan mengundang seluruh keluarga dan membuat pesta bertajuk "Welcome Home" seperti saat dia kembali dari rumah sakit dulu. Pasalnya, dia sama sekali tak memberi kabar Mama, Papa, atau saudarinya kalau dia akan pulang. Entah kalau pria yang berjalan di sampingnya itu sudah lebih dulu melakukannya, Aira tak mau ambil pusing. Toh nanti sore atau malam mereka pasti akan berkumpul.

Ardi membawa Aira menghampiri seorang pria paruh baya yang berdiri tak jauh dari mobil. Dia menyalami pria itu sebentar dan berbincang singkat. Ardi juga mengenalkan Aira pada Pak Burhan.

"Ini Aira. Calon istri saya, Pak," klaimnya penuh bangga sembari menarik pinggang Aira mendekat. Sikap Ardi yang tak malu melakukan skinship di depan umum sontak membuat pipi Aira memanas. Segera Aira mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya agar Ardi tak menyadari dirinya yanh sempat tersipu.

Pak Burhan tersenyum sembari menyambut uluran tangan Aira. "Den Ardi pintar cari istri. Pantas betah di Eropa sana," goda Pak Burhaan yang langsunh disambut gelak tawa Ardi dan senyum kikuk Aira. "Mari, Den, Non!" ucapnya kemudian seraya membukakan pasangan itu pintu mobil.

"Masuklah! Aku taruh kopor dulu di bagasi." Ardi segera meraih kopor Aira. Dia hendak mendorong koper miliknya dan Aira ke bagian bagasi, tetapi dihentikan oleh Pak Burhan.

"Biar saya saja, Den. Den Ardi tunggu di dalam mobil saja."

"Tidak usah, Pak. Saya bisa lakukan sendiri," tolaknya halus, lalu bergegas menuju bagasi dan menaikkan dua kopor ukuran sedang itu dengan cekatan. "Ayo, Pak, berangkat!" titahnya sesaat setelah duduk di samping Aira.

Mobil pun mereka melaju meninggalkan bandara. Lima belas menit perjalanan diisi dengan keheningan, tetapi pandangan Ardi tak pernah lepas dari Aira meskipun gadis itu asyik menatap luar jendela. Sejak tadi, Ardi juga menghitung berapa kali Aira menguap.

"Sayang," panggilnya seraya menyentuh tangan kanan Aira perlahan.

Aira menoleh dengan mata kuyu. Lingkaran hitam di bawah mata yang terlihat samar saat di pesawat, kini terlihat jelas. Dia bergumam tak jelas menyahuti panggilan Ardi.

"Tidur sini!" perintah Ardi dengan menepuk pundak kirinya sendiri. "Nanti aku bangunin kalau sudah sampai."

Aira beringsut mendekat, lalu melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Ardi. Alih-alih menuruti perintah Ardi untuk merebahkan kepalanya di pundak pria itu, Aira menempelkan kepalanya pada dada Ardi. Dia tersenyum sumir saat mendengar degup jantung favoritnya. Suara jantung Ardi yang berdetak seiriama dengan jantungnya.

Ardi merangkul pundak Aira dan memberikan tepukan ringan sebagai pengantar tidur. Dia bersenandung kecil sambil sekali dua kali melarikan tangannya mengusap surai panjang Aira. Setelah merasakan napas gadis itu teratur, dia meletakkan pipi kanannya di atas pucuk kepala Aira dan ikut memejamkan mata. Entah mengapa melihat Aira tertidur dalam dekapannya, dia juga ikut mengantuk. Jadi, dia memutuskan untuk menyusul Aira ke dalam mimpi.

oOo

"Den, bangun! Sudah sampai." Pak Burham sedikit mengguncang bahu Ardi dari samping.

Ardi mengerjapkan mata. Dia menoleh ke kanan dan mendapati Pak Burhan berdiri dengan pintu mobil yang sudah terbuka lebar. "Sudah sampai ya, Pak?" tanya Ardi yang hanya ditanggapi dengan anggukan dan seutas senyum oleh Pak Burhan. Dia mengecek arlojinya dan terkejut melihat angka yang tertera di sana. "Dua jam? Kami tertidur dua jam?" gumamnya.

"Tadi macet, Den. Den Ardi pulangnya saat Jakarta lagi macet-macetnya," sahut Pak Burhan. Pria itu melirik Aira yang masih terlelap di pelukan Ardi. "Non Aira mau dibangunkan atau ...."

Ardi menunduk untuk meelihat wajah tenang Aira. Tak tega membangunkan gadis itu, dia pun berkata, "Saya gendong saja ke dalam, Pak. Tolong kopor kami ya, Pak."

Tak lama kemudian, Ardi keluar sambil membopong Aira. Takut gadis itu jatuh, dia membenarkan posisi Aora dalam gendongannya, tetapi tidur gadis itu malah terganggu. Aira mengerjap dan terkesiap.

"Mas, turunin!" pinta Aira dengan suara serak khas bangun tidur.

Ardi berhenti melangkah. Dia menunduk menatap Aira. "Tidak mau digendong saja sampai kamar? Sekalihan latihan buat malam pengantin kita, 'kan?" godanya. Dia malah semakin mengencangkan gendongannya agar Aira tidaak terjatuh sekalipun kaki gadis itu mulai bergerak-gerak meminta untuk diturunkan.

Aira mendesis sebal. "Malu, Mas! Turunin!"

Ardi mengangkat sebelah alis daan mengendikkan bahu acuh tak acuh. Kemudian dia kembali melangkah melintasi teras. Dia sengaja mengabaikan protes Aira dan usaha gadis itu untuk turun.

"Mas!" teriak Aira lebih keras.

Ardi tetap berlagak tuli. Namun, ketika baru saja melintasi pintu masuk, dia berhenti tepat di ruang tamu bersamaan dengan tangannya yang refleks turun. Aira yang berada dalam gendongannya hampir jatuh jika dia tak sigap menahan tubuh gadis itu.

"Mas!" pekik Aira terkejut. Setelah berhasil menyeimbangkan tubuhnya, dia memukul pundak Ardi sekuat tenaga. "Turunin aku pelan-pelan kan bisa! Hampir jatuh nih aku," omelnya. Bibirnya mengerucut saking sebalnya pada tingkah Ardi.

Akan tetapi, Ardi sama sekali tak memberikan respon berarti. Dia berdiri dengan pandangan lurus ke depan. Beberapa kali dia meneguk ludah gugup. Dia bahkan nyaris melupakan Aira dan tenggelam dalam tatapan tajam beberapa orangtua yang terarah padanya.

"Aira Diva Khairani," panggil seseorang, membuat Aira menoleh dan ikut terkesiap saat manik matanya beradu dengan manik mata serupa dengannya. Aira lantas merapat pada Ardi, mencengkeram bagian lengan atas kemeja pria itu.

"Gede Ardi Prambudi, bisa kamu jelaskan apa yang baru saja kamu lakukan bersama putri saya?"

Ardi pun hanya mampu meringis kaku. Dia tidak salah rumah, 'kan?





Tbc


Sudah siap menyambut cerita Aira dan Ardi yang penuh konflik?

Kasih Hara satu komentar kalian tentang cerita ini di sini.

Tekan bintangnya ya, Dears! ^^

Sampai jumpa di lain kesempatan. ❤








Big hug,
Vanilla Hara
28/02/20

TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang