Apa salah saya?
-Kak Han!-
🍁
Sekolah. Gedung luas yang selalu ramai dengan orang-orang yang berusaha melawan rasa malas yang menjalar dan memengaruhi agar mereka tak datang ke tempat itu.
Hari ini, adalah tahun ajaran baru. Wajar saja jika terhirup aroma malas dari beberapa siswa yang masih ingin berlibur. Upacara pembuka tahun ajaran baru telah dilaksanakan satu jam yang lalu. Dan kini, semua murid dan beberapa guru tengah melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasa.
Di sebuah kelas yang terletak di lantai dua ruang pertama. Di pojok kanan sana, terlihat seorang gadis yang tengah adik membaca buku yang ada di hadapannya.
Sesekali ia menutup rapat mata dan membukanya kembali. Ia tak peduli dengan suara yang menggema di kelas, ia memang cukup pandai mengatur konsentrasi dan fokusnya.
Dia, Ayna Nurrahmah. Gadis bermata sayu yang mengenyam pendidikan di salah satu sekolah yang terkenal di kotanya. Ia bukanlah gadis terkenal yang bisa masuk begitu saja saat pendaftaran, ia bukan gadis yang senang dengan barang-barang terbaru. Tidak. Ia tidak termasuk golongan itu.
Ayna hanyalah gadis cerdas yang memanfaatkan beasiswa untuk tetap menghirup ilmu di sekolahnya. Terlahir dari keluarga sederhana, tidak pernah membuatnya menyerah untuk menggapai apa yang ia cita-citakan. Karena dalam kamusnya, selalu ada man jadda wajada.
"Hey, Na!" panggil gadis berambut sebahu yang tiba-tiba saja duduk di kursi yang ada di depan Aina.
"... ambilin peralatan kebersihan di gudang, dong!" lanjutnya, yang langsung membuat Ayna mendongak dengan cepat.
"Gudang?"
Gadis berambut sebahu itu tersenyum seraya mengangguk cepat, "iya. Lo 'kan K3. Ini juga perintah KM sama bu Silmi."
Aina mengerutkan dahi, ia sontak menatap struktur organigram di dekat papan tulis. Namanya terpampang jelas menjabat sebagai K3, dan itu terjadi tanpa sepengetahuannya.
"Harus saya, ya?"
"Yalah! Siapa lagi?"
Ayna menatap kepergian gadis berambut sebahu itu. Ia beberapa kali menggumamkan _bismillah dan melafalkan doa dalam hati.
Benarkah dirinya harus ke gudang?
Ayna berdiri seraya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia membawa buku yang di bacanya menuju tempat yang diberitahukan tadi.
Sepanjang perjalanan, ia tak berhenti membacakan asma Allah. Belum sampai saja, tangannya sudah sangat dingin dan keringat sudah mulai muncul di kening mulus miliknya.
Sekali lagi, Ayna menghirup udara saat menatap pintu kayu di depannya. Dengan tangan gemetar, dia memutar pegangan pintu perlahan. Terbuka dan semuanya ... gelap!
Ayna menelan salivanya susah payah sebelum akhirnya mulai memasuki ruangan gelap penuh debu tersebut.
Brak
Pintu tertutup dengan sendirinya. Gadis itu menoleh ke belakang—ke arah pintu—namun, semuanya tak terlihat karena begitu gelap.
Napas Ayna mulai tak beraturan, ia terduduk lemas seraya memukul dadanya dengan kepalan tangan kanan. Ia mulai terisak.
"Siapa?!"
"To-loong."
Cahaya datang namun Ayna tak sanggup menahan matanya untuk tidak terlelap. Yang ia rasakan, hanya guncangan pelan entah dari siapa.
"Ck. Lo siapa sih? Udah ganggu tidur gue, sekarang malah pingsan gak jelas!" gerutu lelaki yang kini hanya menatap tubuh kecil Ayna yang meringkuk juga bergetar hebat.
Lelaki itu menggerakkan kakinya, berusaha membangunkan Ayna. Sungguh tidak sopan!
"Bangun!"
Kesal? Sangat jelas!
Sebelum datang Ayna, lelaki tadi tengah tertidur pulas tanpa sepengetahuan siapa pun. Namun sekarang, lelaki itu harus menahan kekesalan yang diakibatkan gadis kecil bernasib buruk itu.
Lelaki itu mulai berjongkok dan mengarahkan senter ponselnya ke arah Ayna yang masih setia dengan kondisi nelangsanya. Lelaki itu menghela napas sekejap. Ia masih manusia yang juga masih memiliki hati nurani.
Brak
Pintu terbuka secara paksa dari arah luar, bertepatan dengan lelaki di hadapan Ayna yang tengah membuka jaket yang dikenakannya.
Tidak, ia tidak berniat buruk untuk menghancurkan gadis di depannya. Ia hanya sekadar ingin membantu, barangkali jaketnya bisa membantu gemetar si gadis hilang.
"Kan, Pak, apa saya bilang?! Mereka berdua ada di sini!" ucap gadis berambut sebahu, kepada pria berkumis tebal yang menjabat sebagai kepala sekolah.
"Rayhan! Apa yang kamu lakukan?!"
"Bapak jangan dulu ngomong, mending bantu saya angkat dia," pinta lelaki bernama Rayhan.
○●○
"Maaf, Pak, Bu. Kami tidak bisa mentolelir kejadian kemarin. Mohon maaf, mulai sekarang, Ayna harus berhenti sekolah di sini."
Wanita paruh baya berkerudung lebar itu hanya mampu menangis mendengar kabar duka dari bapak kepala sekolah yang terhormat."Dan untuk Rayhan, ia akan tetap sekolah—"
"Kenapa? Kenapa hanya anak saya yang dikeluarkan?"
"Maaf, Bu. Rayhan sekarang kelas dua belas, yang sebentar lagi akan mengikuti ujian nasional da—"
"Saya menuntut keadilan, Pak!"
"Heh wanita bodoh! Anak kamu tuh cuma ngandelin beasiswa, yang kapan aja bisa dicabut. Kalau kamu masih mau anak kamu sekolah, bayar! Gitu aja gak peka!" ucap wanita sosialita yang bisa ditebak sebagai ibu dari Rayhan.
"Mohon tenang. Sekali lagi saya mohoh maaf untuk ketidaknyamanan Ibu," ucap kepala sekolah kepada ibu Ayna, " ... kalian boleh ke luar," lanjutnya mempersilakan.
Keempat orang tua itu keluar satu persatu. Ibu Reyhan menatap tidak suka kepada ibu Ayna yang masih saja menangis.
"Pak, Bu, saya mau bicara," ajak ayah Rayhan.
"Langsung saja." Rahman—ayah Ayna—mempersilakan Delion—ayah Rayhan—untuk membicarakan maksudnya.
"Saya akan bertanggung jawab untuk hal ini. Jika boleh, saya melamar putri Anda untuk Rayhan. Saya tau, mungkin tidak terjadi apa-apa di antara mereka kemarin. Saya tidak ingin, fitnah semakin bertebar. Saya tau, Anda lebih paham tentang ini."
Keempatnya diam, hanya terdengar isakan dan helaan napas panjang dari salah satu dari mereka. Lagi pula, Delion sebenarnya berharap gadis yang terlibat itu bisa merubah kepribadian Rayhan.
🍁20 Februari 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Moon
Spiritual"Semua akan indah pada waktunya. Seperti kisahku, yang di mulai ketika aku terbangun dari tidurku." -Keily Faramita-