Godaan Sebelum Menikah

925 12 0
                                    


Namaku Wenny, umurku baru 23 tahun, masih single tapi Insyaa Allah tiga bulan lagi akan segera menikah. Saat ini aku bekerja di salah satu BUMN terkemuka di kota calon suamiku. Sudah 6 bulan aku dimutasi ke kota ini, dan sementara ini aku tinggal dirumah calon suamiku bersama calon mertuaku. Ya kami memang tinggal serumah, tapi jangan pikir macam-macam dulu ya, ini hasil kesepakatan orang tua kami juga, karena aku belum pernah tinggal jauh dari orang tua jadi mereka khawatir kalau aku tinggal sendirian, sekalian melatih keakrabanku dengan calon mertua yang Alhamdulillah sangatlah baik.

Hubunganku dengan calon suamiku selama ini berjalan harmonis, oh iya perkenalkan namanya Andi. Kami sudah menjalin kasih semenjak kuliah, lebih dari 5 tahun. Dan selama waktu itu nyaris tidak ada pertengkaran yang berarti, kami akan mengalah, atau diam sampai kemarahan salah satu dari kami mereda. Benar-benar couple goals yang sempurna.

Seperti biasa pagi ini aku bersiap-siap hendak berangkat ke kantor. Begitu keluar kamar, aku bertemu Mas Andi yang ternyata juga sudah rapi, siap-siap mau menuju lokasi proyeknya. Dia bekerja sebagai tenaga teknis di salah satu perusahaan swasta di kota ini juga.

"Hari ini cantik bener de, tumben itu bulu mata lentik banget, bibirnya juga merah. Biasanya make up kamu kan tipis," celetuk Mas Andi sambil menatapku.

"Ah ini, duh peka banget sih mas, tau aja hari ini aku agak ekstra pake make up. Soalnya sama Pak Teguh dibilang terlalu pucat mas, jadi disuruh ditambahin biar lebih segar pas melayani customer," sahutku malu-malu, dalam hati senang juga pagi-pagi sudah dibilang cantik. Ya, walaupun kami sudah bersama selama bertahun-tahun, tidak banyak yang berubah dari Mas Andi, omongannya selalu manis, dan dia juga selalu sopan. Sesuatu yang membuatku tidak pernah terpikir untuk melirik lelaki lain.

"He ... baiklah de, kamu hati-hati ya berangkatnya, beneran kamu ga papa bawa motor sendiri? Padahal mas masih sempat ko nganterin kamu," tanya Mas Andi, dia memang selalu begitu, kadang bisa over protektif, dan Mas Andi pula yang dulu yang meminta ke orang tuaku supaya aku tinggal di rumahnya saja, agar bisa selalu diawasi dan dijaga.

"Enggak papa mas, aku bisa kok, sudah biasa sekarang, aku sudah hafal jalan ke kantor. Malah aku tau jalan tikus lho, pas kemarin menghindari razia gara-gara tasku ketinggalan di kantor," jawabku menenangkannya sambil setengah bercanda.

Akhirnya akupun berangkat ke kantor, dengan motor yang baru saja kubeli sendiri bulan lalu, ada perasaan bangga karena sudah bisa membeli sendiri barang yang kubutuhkan. Cukup bahagia karena motor ini kubeli tunai, dengan uang gaji yang setiap bulan kutabung. Karena memang pengeluaranku tidak banyak, untuk rumah aku tidak perlu membayar, begitupun dengan makanan, biasanya sudah dibelikan Mas Andi, paling-paling aku hanya perlu menyisihkan untuk makan siang, keperluan pribadi, dan untuk mengirim secukupnya ke orang tuaku setiap bulan.

Sesampainya di kantor aku segera menuju meja kerjaku, membersihkannya sebelum jam layanan buka. Aku bertugas sebagai Customer Service, Pak Teguh yang sempat kusinggung pagi tadi adalah atasan langsungku, supervisorku.

"Pagi wen, nah gitu dong, mukanya cerah ada warnanya, kan makin cantik," sapa Pak Teguh sambil duduk di depan meja kerjaku.

"Pagi juga Pak Teguh, duh dipuji pagi-pagi, saya lagi ga ada uang buat mentraktir bapak ini," jawabku sambil berkelakar. Pak Teguh ini memang orangnya ramah, tapi kalau urusan kerja, dia sangat ambisius, performanya juga sangat baik, umurnya cuma terpaut tujuh tahun denganku, tapi jabatannya sudah bagus. Dengar-dengar dia juga akan dipromosikan jadi manajer di salah satu cabang.

"Gak usah ditraktir, saya duduk disini aja, bisa mandangin kamu lama-lama saya sudah senang," jawabnya sambil terus tersenyum dan menatapku. Ya, akhir-akhir ini ada yang berubah dengan bapak ini, sejak dia tau kalau aku mau menikah beberapa bulan lagi, perhatiannya padaku menjadi lebih intens. Kadang aku bisa jengah juga, cuma kondisi pekerjaan yang mengharuskanku harus terus berkoordinasi dengannya membuatku tidak bisa menghindar.

Pak Teguh ini secara penampilan tidak buruk, sangat lumayan malah, karena memang tempatku bekerja mengharuskan kami merawat diri agar enak dipandang saat melayani customer. Dia memang seorang perfeksionis, jadi tidak heran penampilannya pun sangat dia perhatikan. Tapi bagiku semua itu biasa saja, bukan hal baru bagiku dikelilingi pria-pria tampan, karena sejak masih sekolah akupun mengikuti kegiatan seni tari dan modelling, walau hanya sekedar hobby.

Saat jam istirahat siang, seperti biasa aku minta tolong OB untuk membelikan makanan. Aku memang malas keluar, waktu istirahat biasanya hanya kuhabiskan untuk makan, sholat, dan memainkan gawaiku sambil menunggu jam kerjaku dimulai lagi.

"Lagi nunggu makanan Wen?" sebuah sapaan menyadarkanku dari lamunan, sambil menoleh aku mencari asal suara itu.

Ternyata Pak Teguh sudah berdiri di depan pintu, tak lama dia masuk dan duduk di meja pantry di depanku.

"Ah bapak, tumben istirahat jam segini, bukannya bapak biasanya jam satu nanti setelah Pak Agus?" tanyaku agak penasaran, karena memang supervisor di kantorku ada dua, Pak Agus dan Pak Teguh, dan seperti kami, merekapun beristirahat secara bergantian, agar petugas layanan tidak sampai kosong.

"Saya jenuh, kalau jam satu biasanya saya makan sendirian, karena Anita temanmu yg biasanya istirahat makan sama-sama saya kan sekarang selalu dijemput suaminya kalau mau makan siang, jadi saya minta tukaran sama Pak Agus," jawabnya seperti setengah merajuk.

Anita, temanku sesama customer service memang baru menikah bulan lalu, jadi masih manis-manisnya. Kemana-mana selalu ingin berdua suaminya, masa yang tak lama lagi juga akan kualami. Tak sadar pikiranku melayang membayangkan seperti apa rasanya jika sudah menikah, dan tanpa kusadari aku jadi melamun.

Sentuhan di tanganku membuyarkan lamunanku, ternyata Pak Teguh yang memegang tanganku. Tanpa sadar aku menariknya keras karena kaget.

"Eh, kenapa Pak?" tanyaku gelagapan.

"Duh kaget amat Wen, baru juga dipegang sedikit, sama calon suamimu pasti lebih dari itu kan, kalian kan tinggal serumah, ini lho saya tadi ngomong sama kamu, eh kamunya malah bengong aja," jawab Pak Teguh sambil mengulum senyumnya.

Aku benar-benar salah tingkah waktu itu, bukannya aku tidak terbiasa dengan sentuhan ditanganku, biasanya aku bisa berjabat tangan dengan puluhan customer dalam sehari saat jam layanan. Tapi sebodoh-bodohnya, aku tau mana sentuhan sebatas profesionalitas kerja, dan mana sentuhan yang memiliki maksud dibaliknya.

"Saya tidak pernah aneh-aneh Pak sama calon suami saya, kami tahu batas-batasnya, tinggal di rumahnya pun mungkin tidak seperti yang bapa pikirkan, karena di rumah kami tidak hanya berdua, ada ibunya dan juga
ayahnya yang saat ini sedang stroke," kucoba menjelaskan agar tidak ada salah paham disini, salah besar kalau dia menganggapku sudah "rusak" hanya karena aku tinggal bersama di rumah calon suamiku.

Saat itu kuangkat wajahku dan tidak sengaja mataku bertatapan dengan matanya, dia fokus mendengarkan penjelasanku, tapi anehnya aku melihat ambisi di sana. sinar mata itu, sinar mata yang sama seperti saat dia menjelaskan target yang harus kami capai bulan ini. Apa ini? Kenapa dia jadi menjadikanku semacam target ... apa yang dia pikirkan? Macam-macam pikiran berseliweran di otakku saat itu.

Aku masih cukup waras untuk tidak melayaninya lebih jauh, aku tahu Pak Teguh sudah berkeluarga, anaknya pun sudah tiga. Memang pekerjaan kami menuntut kami untuk siap dimutasi kapan saja, terutama bagi yang memiliki jabatan tinggi seperti Pak Teguh atau Pak Agus. Dan akupun tahu mereka semua sekarang tinggal terpisah dengan istri-istrinya, atau LDR istilah kerennya, yang tidak bisa terus menerus mengikuti perpindahan mereka, terutama karena anak-anaknya sudah mulai bersekolah.

Tak lama OB yang kumintai tolong membelikan makanan datang, dan itu cukup untuk mengalihkan perhatianku dari Pak Teguh, secara halus aku meminta Mas Danu, nama OB di kantorku menemaniku mengobrol, kulakukan ini agar aku dan Pak Teguh tidak hanya berduaan saja di pantry. Karena sungguh aku mulai jengah dengan pandangan dan sikapnya terhadapku, selain itu aku masih bingung kenapa dia seperti memiliki obsesi kepadaku, bukankah dia sudah menikah, anaknya pun lucu-lucu dan istrinya cukup cantik, dan hei ... bukannya dia tahu statusku yang juga akan segera menikah?

Godaan Sebelum MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang