Sedikit Cerita

14 0 0
                                    

Malam itu, aku sedang dalam perjalanan pulang. Seperti biasa, sendirian, dengan tas gendong abu-abu dan totebag berisikan bekal. Menaiki kapal, menuju pelabuhan Bakau Heni, Lampung Selatan.

Aku suka duduk di pojokan, pinggir jendela misal. Agar tak terlalu berada di tengah keramaian orang yang tak ku kenal. Kursi ruang bisnis yang ku masuki ternyata ditata berhadap-hadapan.

Alhasil, aku harus memilih teman duduk yang sekiranya nyaman, untuk menghindari orang lain yang tak ku inginkan (laki-laki) duduk di dekatku setelahnya.

Seorang perempuan sebayaku terlihat duduk sendirian. Aku menghampirinya dan meminta izin untuk duduk di sebrang barisan bangkunya. Tak lama kemudian, datang seorang laki-laki duduk di dekat perempuan itu. Rupanya ia bersama ayahnya, tapi tak bersama ibunya. Kalau begini, aku sedikit merasa kurang nyaman.

Lantas, aku mencari tempat duduk lain, yang masih benar-benar kosong. Ku letakkan tasku di kursi tengah, dan kuposisikan dudukku di dekat jendela. Mencari aman. Sambil berdoa, jika memang kursi-kursi di hadapanku akan ditempati, kuharap orang-orang baik yang Allah ridhoi yang akan menghampiri.

Sambil menunggu keberangkatan kapal, aku mengeluarkan sebuah buku kesayangan. "Seni Tinggal Di Bumi" judulnya. Karya Farah Qoonita. Lembaran demi lembaran ku baca, membuatku tak henti berdecak kagum sembari mengingat Allah dan Rasul-Nya. Ya, seindah itulah. Sebab buku ini lahir karena kedekatan penulis dengan Tuhannya.

Tak lama kemudian, datang seorang Ibu berkacamata. Ia bertanya, "Mba, ini ada orangnya?" seraya menunjuk barisan kursi di hadapanku.

"Oh, ngga ada bu, silahkan," jawabku sambil menurunkan buku bacaanku.

Ibu itu tersenyum, meletakkan barangnya, dan memanggil lelaki di belakangnya.

"Sini, pah!"

Sepasang suami istri itu kini duduk di sebrangku. Aku senang, mereka tampak ramah.

Aku kemudian melanjutkan bacaanku sejenak. Hening, sampai akhirnya aku menutup bukuku.

"Ibu mau kemana?" tanyaku memulai pembicaraan.

"Ke Lampung," jawabnya.

"Lampungnya di mana bu?"

"Rajabasa."

"Hoo, jauh juga ya lumayan," ujarku sambil membalas senyuman teduhnya.

Obrolan kami mengalir. Kadang berhenti, kadang berlanjut lagi. Hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang di Kapal besar ini.

"Mba nya solat maghrib ngga?"

"Iya bu, tapi nanti tunggu sebntar soalnya kalau sekarang sepertinya masih ramai. Mushollanya sempit."

"Ibu solat juga ngga?" aku balik bertanya.

"Engga, ibu lagi ngga solat?"

"Oh iya," aku tersenyum sembari memasukkan buku ku, kemudian mengeluarkan dompet, dan gawai untuk ku bawa ke Musholla.

"Ibu, nitip tas sebentar boleh?"

"Oh iya, silahkan."

Aku kemudian pergi ke musholla. Mungkin hampir satu jam aku meninggalkan tempat dudukku.
Saat aku kembali, sudah ada satu cup popmie rebus di mejaku.

"Nah, ini dia yang ditunggu-tunggu, itu popmie-nya udah dari tadi loh, kirain sebentar taunya lama," ujar si ibu.

"Udah megar tuh kayanya," suaminya ikut bicara. Mereka sedikit terkekeh.

"Waduh ibu, repot-repot amat.. saya sudah makan tadi," aku jadi merasa bersalah sekaligus tak menyangka.

"Ngga apa-apa.. jangan menolak rezeki," ujarnya.

"Hehe, iya.. kalau gitu di makan yah bu.. Tapi ibu sama bapaknya udah makan belum ini?"

"Udah habis dari tadi, hayo dimakan dong" katanya.

Aku pun membuka kertas penutup cup, dan.. benar saja. Kuahnya sudah habis tak tersisa. Pop mie yang ramping, kini sudah berubah jadi padat berisi. Kububuhkan bumbu, dan.. "Huaa, jadi mie goreng!" ujarku dalam hati, sambil menertawai diri sendiri.

Tanpa pikir panjang, kulahap saja popmie rasa baru ini. Semampunya, hehehe.

Kami melanjutkan obrolan dengan asik. Sang ibu menanyakan namaku, pendidikanku, dan sebagainya. Aku pun sama, menanyakan hal-hal sederhana yang membuat kami menjadi lebih akrab.

Saat kapal hampir tiba di dermaga, sang ibu bersama suaminya pamit pergi terlebih dahulu. Mereka membawa kendaraan.

"Maaf ya, jadi nggak nawarin tumpangan, beda arah sih.. sekarang kan udah masuk tol," ujarnya.

"Hehe iya ibu, ngga apa-apa, banyak travel kok nanti di sana." jawabku sambil beranjak untuk bersalaman selayaknya orang tua.

Setelah mereka menghilang di balik pintu ruangan, aku baru teringat permohonanku sebelumnya. Rupanya, lagi-lagi Allah kabulkan doaku seketika. Aku bertemu dengan sepasang suami istri yang berhati mulia.

Semoga kelak Allah kembali pertemukan aku dengan mereka.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sedikit CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang