Siang, Dears! ^^
Aira update lagi. Semoga kalian suka, ya ...
Jangan lupa vote sebelum baca dan komentar di akhir cerita.
Happy reading!
***
"Loh, kuenya mana, Sayang?" Marta menatap Aira penasaran.
Aira memilih menggelengkan beberapa kali alih-alih membuka suara. Kenudian dia membuang muka ke sisi lain, ke mana saja asal bukan toko kue, terlebih pada Litia yang masih mengamatinya dari jauh. Dia tahu kalau apa yang dia lakukan kepada Litia bukanlah hal baik.
Sahabatnya itu pasti merasa bingung dengan perubahan sikapnya yang terlampau tiba-tiba. Akan tetapi, dia menyadari bahwa hatinya masih belum baik-baik saja jika dihadapkan pada luka yang serupa. Dua tahun masa pemulihannya seolah-olah tak berarti apa-apa.
Johan menilik raut muka sang putri yang mendadak muram. Dia lantas menyentuh tangan Marta yang hendak bertanya kembali dan memberikan larangan dengan gelengan. Setelah sang istri mengangguk, dia mulai melajukan mobilnya kembali untuk pulang.
Tidak ada yang berinisiatif untuk memulai pembicaraan. Ketiga orang dewasa di dalam mobil itu kompak terdiam meskipun sekali dua kali Johan dan Marta bergantian melirik Aira khawatir. Pengalaman mengajarkan bahwa tidak akan baik akibatnya saat Aira mulai menjalankan aksi bungkam seperti sekarang. Terakhir kali mereka membiarkan, keduanya malah nyaris kehilangan Aira dengan cara tragis. Tentu saja mereka tidak mau mengulang kejadian buruk itu menimpa putri mereka.
Lima belas menit perjalan bukanlah waktu yang lama, tetapi juga tak bisa terbilang singkat. Johan mengembuskan napas lega saat dia sudah memarkirkan mobil di sebuah halaman luas dan terkesan asri dengan banyaknya pohon besar nan rindang. Dia dan Marta saling melirik saat melihat tak ada pergerakan kecil pun dari Aira. Putrinya itu duduk terlampau tenang dengan mata menerawang.
Johan melepas seatbelt yang dia kenakan, lalu memutar tubuhnya ke belakang. Disentuhnya pipi kiri Aira dengan lembut sehingga membuat Aira tersentak. "Kita sudah sampai, Sayang. Kita turun, yuk!"
Aira menyunggingkan senyum tipis yang hampir tak kentara. Dia mengangguk dan mulai mengikuti Marta yang turun lebuh dahulu. Kemudian disusul oleh Johan. Namun, dia tak serta merta melangkah ringan. Manik matanya tak bisa dia cegah untuk menyisir setiap sudut halaman yang menyejukkan mata. Senyum kecilnya kemudian terbit, tanda kalau dia menyukai tempat tinggal barunya. Sejenak, pikiran semerawut yang tadi sempt mampir dalam benak Aira, terdikstraksi sudah.
"Yuk, masuk! Rumah kita sekarang memang tak sebesar yang dulu. Tapi kamu bisa gunakan kamar depan yang langsung menghadap ke kolam ikan. Kamu suka bunyi gemericik air, 'kan?" Johan merangkul pundak Aira dengan tangan kirinya dan menggiringnya melangkah bersama menyusul sang istri. Sementara tangannya yang lain sibuk menarik kopor Aira yang tadi dia turunkan dari bagasi.
"Aku suka, Pi. Aku juga suka rumahnya. Terlihat hangat dan tidak berlebihan."
"Tentu saja. Apalagi sekarang ada kamu yang akan tinggal bersama kami. Papi dan Mami merasa lengkap kembali." Johan berhenti di teras depan. Dia menyerongkan tubuh Aira agar menghadapnya. Sorot matanya sangat serius dan penuh permohonan. "Jangan pergi lagi ya, Sayang. Sejauh-jauhnya kamu ingin melarikan diri, keluarga lah tempat ternyaman dan teraman untukmu bersembunyi. Ada kami, Papi, Mami, dan Kak Dania. Kamu tidak sendirian, Sayang. Kami semua sayang kamu."
Aira terenyuh mendengar penuturan tulus seorang ayah itu. Dia langsung menubruk tubuh Johan dan memeluknya erat. Dirapalkannya ucapan maaf berkali-kali. Sungguh, dia semakin tertampar dua kali akan keegoisannya sendiri, yaitu saat bertemu Litia dan mendengar permohonan tulus Papi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FIN
RomanceAira pernah terpuruk. Cintanya yang terlalu besar pada Evan pernah membuatnya gila ketika pria itu memilih meninggalkannya demi menikahi wanita lain. Dalam masa kelam itu, Aira tidak menemukan sebuh kewarasan selain mati untuk mengakhiri rasa sakit...