Prolog

9 2 2
                                    

Hari Itu, Kita menyelesaikan segala perkara. Melangkah menuju jalan masing masing. Jalan yang kita pilih demi kebaikan bersama. Rasanya, hari itu hari yang paling mendebarkan. Kita mengorbankan hal yang paling kita jaga. Aku dan dia. Dan kamu dengannya. Hari itu usai segala perkara yang meyesakkan dada. Bahkan, sebelum hal ini dimulai, kita tau pada akhirnya, kita harus melepas sepotong hati yang kita rawat bersama. Pada akhirnya, aku menyerah. Menyerah pada semesta.
Pada cerita kita yang akhirnya, berpisah secara tiba tiba. Kau tau? Ada banyak hal yang harus ku ungkapkan. Ada yang harus aku luruskan. Tapi kita tak punya waktu, bahkan untuk membahas hal hal yang membuat kita sama sama rapuh.  Semestinya, cerita ini tak pernah dimulai. Tak pernah terangkai. Semestinya kita harus diam dalam kebisuan. Tak usah mengungkapkan apa yang harusnya tak pernah ada.
Berjalan dalam diam. Kita sama sama tau, tak ada hal yang lebih rumit dari pada terjebak perasaan pada posisi sulit. Kau sudah dengannya, lalu apalagi yang kau pinta? Tidak, tidak, aku menolak dengan keras segala upaya yang membuat aku terjatuh, bahkan sebelum rasaku tumbuh. Cukup. Hari itu aku mengalah pada perasaanku sendiri. Mencoba berdamai pada perasaan yang tak ada temunya. Kau tau, kita sering bercengkrama pada siang siang sepulang sekolah. Membahas masa depan yang kita belum tau seperti apa nantinya. Kita mendahului takdir, menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Tanpa perduli bagaimana perasaan kita bekerja. Aku hanya berharap, perpisahan ini, ah tidak jeda ini adalah jawaban yang sama sama kita tunggu. Jawaban yang membuat hati kita kembali pada apa yang se harusnya . Sampai jumpa kembali. Sampai jumpa pada pertemuan selanjutnya yang telah direstui semesta.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

P E K ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang