2. Cikgu Besar

1K 166 111
                                    

Tap tap tap

"Mir.. Mir itu kayaknya bunda. Cepetan merem!"

"Aduh, Amir lupa caranya merem gimana." Amir garuk-garuk kepala kebingungan.

Amar melongo. Astaghfirullah adiknya ini otaknya di kilokan atau gimana sih. Merem tinggal merem, pake segala lupa caranya merem. Lama-lama Amar oplas nih, mendingan kembaran ama Sean tetangga sebelah rumahnya. Udah jago main kelereng, jago juga nyusun lego. Lah Amir, jagonya ngerobohin lego yang susah-susah Amar buat.

"Tinggal ditutup gini loh, Amir." Amar mencontohkan. Adiknya yang satu ini memang agak langka, harus dilestarikan seperti badak bercula satu.

"Oh... mas Amar bilang dong dari tadi. Bikin Amir bingung aja."

Oke... oke... kali ini Amar ngalah dan sabar. Nggak tau deh besok, Amar selepet kepala Amir atau nggak.

"Merem loh ya, awas melek ntar Amar main sama Sean!"

"Huhu jangan, Amir main sama siapa dong."

Sebenarnya masih ada mas Abi sih yang bisa diajak main. Tapi nggak seru ah. Mas Abi suka ngeluh sakit pinggang kalau diajak main kuda-kudaan. Kata bunda sih faktor u. Umm.. faktor u apa ya? Upil paling ya.

"Sttt... jangan berisik Amiiiiirrr."

Dengan muka yang hampir mewek itu, Amir pura-pura tidur sesuai perintah kakaknya.

Ceklek

Satria masuk ke dalam kamar berwallpaper spongebob itu. Eh anak kembarnya masih pada mlungker. Tapi di sini ada yang aneh. Biasanya Amir nggak bisa tidur tanpa memeluk boneka planktonnya yang penuh iler itu. Lah ini kok bisa? Mana matanya geter-geter, kakinya goyang-goyang. Tapi bukan goyang dumang.

"Loh tumben anak-anak ayah belum pada bangun. Biasanya pagi-pagi udah ngerusuhin bunda di dapur."

Satria membuka tirai jendela, sinar matahari masuk menyilaukan mata kedua bocah yang sedang pura-pura tidur itu.

Satria menahan tawanya melihat mata Amir kriyep-kriyep terganggu cahaya matahari yang masuk. Kalau Amir ikut casting pasti bakalan ditolak mentah-mentah. Sedangkan Amar sudah seperti aktor profesional.

"Lupa ya hari ini sekolah."

Diusapnya lembut rambut halus dan tebal kedua putranya. Tubuh Amir menegang. Ya Allah lucu banget anak-anaknya.

"Nggak mau nih pakai sepatu baru, tas baru, seragam baru. Oh iya satu lagi, bunda udah nyiapin bento buat dibawa sekolah. Ada ayam goreng juga buat sarapan."

"Ayam goreng?" Tanya Amir polos tanpa membuka matanya. Masih tetap pura-pura tidur.

Di dalam hati, Amar tepok jidat sebelum dia tepok jidat Amir beneran.

"Anak ayah hebat ya. Bisa ngomong sambil bobo." Kekeh Satria menoel pipi gembil Amir.

"Amir udah bangun kok, tapi sama mas Amar disuruh bobo pura-pura biar nggak sekolah. Kata mas Amar ada cikgu besar, mas Amarnya takut yah." Tunjuk Amir pada Amar yang masih betah pura-pura tidur.

Sedangkan Amir sudah duduk mengucek-ucek matanya. Badanya sakit-sakit sih kalau pura-pura tidur.

Haduhh... Satria terbahak mendengar pernyataan polos Amir. Cikgu besar katanya? Memang ini upin ipin apa hihi.

"Mana ada cikgu besar. Gurunya Amir Amar cantik kok."

"Cantik? Ayah yakin?"

Lahh mendengar kata cantik disebut ayahnya. Amar beranjak bangun, menatap ayahnya dengan penuh kecurigaan. Kalau cantik sih Amar gasssss aja sekolah.

"Loh udah selesai tidurnya?"

"Huum... ayah sama Amir ngomongnya kenceng, Amar jadi nggak ngantuk lagi."

"Ayo mandi, nanti bunda ngomel-ngomel mau denger bunda ngomel?"

Amar Amir kompak menggeleng. Bundanya kalau sudah ngomel, juri dangdut academy pun kalah. Omelannya sepanjang jalan kenangan. Tapi Amar Amir menyayangi bundanya melebihi apapun di dunia ini.

"Gendoooong, yah!"

Haduhhh si Amir pakai minta gendong segala. Kan semalam Satria berikhtiar menambah anggota keluarganya, jadi hari ini agak pegel sedikit. Kalau Amir minta gendong, pasti boyok'en.

"Amir udah gede jalan sendiri. Apa mau Amar seret?"

"Emang Amir karung beras. Yaudah deh Amir jalan sendiri."

Amir menghentak-hentakkan kaki, nggak tau kalau ada selimut yang membelit kakinya.

"Mir awas kakimu."

Wes telat! Amir sudah jatuh gedubrakan, bibirnya terlebih dulu menyentuh karpet. Untung jatuhnya di karpet, kalau di lantai pasti bibirnya udah jontor.

Yoalahhh bukannya nolongin, ayah dan kembarannya malah cekikikan. Imi namanya tertawa diatas penderitaan orang lain, pokoknya harus laporin ke kak Seto.

"Bundaaaaaaaaaaa!"

Duh weslah kalau Amir sudah teriak begitu tamatlah riwayat Satria dan Amar.

"Ayahh modyar kita!" Amar tepuk jidat. Satria mengiyakan, sudah pasti istrinya yang cantik dan bohay itu bakalan ngomel-ngomel seharian karena anaknya yang paling bontot lecet.

***

"Disekolah nggak boleh nakal lho ya, nggak boleh nangisan." Farissa menoel hidung Amir yang memang agak cengeng.

Kalau Amar jangan ditanya. Dia ini jagoan, malahan sering buat anak orang nangis. Haduh... kalau sudah begitu ada saja orang tua anak yang ngelabrak kerumah. Pakai bawa-bawa polisi, lah emangnya lagi nyiduk bandar narkoba apa.

"Mas Amar nggak boleh jahil sama temennya nanti lho ya, janji sama bunda."

"Nggeh, bun. (Iya, bun)"

Farissa mencubit pipi gembil Amar gemas. Walaupun sering dibilang anak nakal sama tetangga tetangga, tapi kalau sama bundanya tata kramanya patut diacungi jempol.

"Ini bunda tinggal, nanti pulangnya di jemput sama mas Abi."

Si kembar mengangguk. Amar toleh kanan kiri, memperhatikan teman-teman barunya. Dan hampir menepok jidat melihat raut wajah Amir yang ingin menangis ditinggal si bunda.

"Loh kok nangis. Piye iki, yah. (Gimana ini, yah)" Farissa menangkup pipi Amir yang mulai terisak-isak sambil menolehi Satria.

Bapak tiga anak yang insyallah otw empat anak itu ikut menunduk menenangkan putra bungsunya.

"Hayooo Amir kok nangis, nanti sore kan mau jalan-jalan ke alun-alun. Sama bunda, mas Abi, mas Amar, sama ayah juga. Kalau nangis dek Amir ditinggal aja dirumah sama Uti, iya nggak bun?"

"Iya yah. Biar nanti sama uti disuruh minum jamu, hiii pahit."

Mendengar kata jamu, Amir mengelap air mata beserta ingusnya. Walaupun masih misek-misek Amir sudah nggak nangis lagi.

Kriiinggg... kriiiingg...

"Ayoo mas Amar sama dek Amir masuk ke kelas, udah bel. Bunda sama ayah pulang dulu ya, belajar yang rajin, sopan sama gurunya nggih le." Farissa bergantian mengecup pipi gembil si kembar, Satria juga melakukan hal yang sama.

Satria memeluk pinggang sudah tidak ramping istrinya. Tersenyum bahagia melihat kedua putra kembarnya berbaris memasuki kelas. Ya walaupun muka kedua putranya nggak bisa dikondisikan. Si Amar yang mukanya keliatan judes dan ndablek. Dan si Amir yang mukanya kelihatan sembab dan ketakutan.

"Mas, Icha kok nggak tega ya sama Amir."

"Mas juga sebenernya nggak tega, tapi kan memang udah waktunya mereka mengenal lingkungan baru dan belajar." Kata Satria sambil mengusap kepala Farissa. Bener juga apa yang dibilang si bapak.

Semoga saja kedua putranya tidak mengalami kesulitan selama bersekolah.

***

Tbc

Heheh baru update lagi

Hayooo kalian mau request part yang gimana nih bakalan author jabanin xixi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bapak Jadi Imam Saya, Yuk! 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang