Chapter 4

1.1K 132 45
                                    

Hari demi hari terus berganti dan semenjak itu pula Api menjadi seseorang yang terpuruk. Aku bisa merasakan perasaannya yang tertekan karena ia kalah di pertandingan sepak bolanya. Yang kutahu, saudara kembarku ini terlihat lemah dari biasanya. Diam tanpa terdengar lagi tawa sarkasnya.

"Tahun depan kan masih bisa dicoba lagi, Api. Mungkin kali ini bukan waktunya," hiburku di sela lamunan panjang itu.

Namun, Api berbalik menatapku nyalang. "Kau senang, 'kan, aku kalah begini?!"

"Sama sekali aku tidak bermaksud seperti itu," elakku berusaha tetap tenang, jangan sampai ikut terbawa emosi.

"Sudahlah, lebih baik kau per-"

Ucapan Api terpotong karena ia jatuh pingsan tepat di hadapanku.

"Api, hei Api! Bangun!" Kutepuk pipinya pelan, namun ia tak kunjung sadar. "Ayah! Bunda! Api pingsan!"

Mendengar teriakanku, mereka berdua langsung memboyong Api ke rumah sakit, aku pun ikut.

Kumohon bertahanlah, Kakak.

***

Hari ini tepat seminggu sebelum ulang tahun kami berdua. Aku takut kehilangannya, saudara kembar yang sangat aku sayangi sekaligus kubenci. Dokter bilang bahwa ginjalnya sudah benar-benar rusak. Ginjalnya hanya tinggal satu setelah setahun yang lalu sudah diangkat. Sedangkan aku masih mempunyai dua ginjal.

"Hanya saudara kembarnya yang ginjalnya cocok dengan Api jadi usahakan dengan secepat mungkin diadakan pencangkokan ginjal, Pak," beritahu dokter pada Ayah.

Setelah itu, aku menjadi sasaran semua orang yang menyayangi Api. Semuanya memintaku untuk mendonorkan satu ginjal padanya. Niatku sudah bulat bahwa aku akan mendonorkan kedua ginjalku padanya, tapi aku tak ingin mereka tahu semuanya. Karena aku tidak mau mereka akan menyayangiku karena bersimpati denganku yang telah memberikan satu ginjal pada saudaraku. Aku hanya ingin kasih sayang yang tulus dari mereka, entahlah bagaimana caranya agar aku mendapatkannya.

"Ah, sudahlah Air, kamu memang saudara yang kejam. Hanya menyumbangkan satu ginjal saja tidak mau. Untunglah ada seseorang yang berbaik hati yang mau menyumbangkannya pada Api," ucap Ayah.

"Aku kecewa sama kamu, Air. Tega, ya, kamu sama kakak kamu sendiri," ucap Yaya dengan kecewa padaku. Dia dan keluarganya langsung ke rumah sakit mendengar kabar bahwa Api pingsan.

"Siapa yang mendonorkan ginjalnya, Yah?" tanya Bunda.

Senyuman lemah menghiasi wajah Ayah. "Entahlah, pendonor itu tidak mau diberitahu namanya. Bahkan ia memberikan dua ginjalnya dengan gratis pada Api. Dia benar-benar berhati malaikat," jawab Ayah.

'Andaikan kalian tahu bahwa itu aku? Apakah aku akan diberikan penghargaan oleh Ayah?'

***

Beberapa jam sebelum operasi pencangkokan dilakukan, aku menulis sebuah surat untuk semua orang yang aku sayangi di kamar. Entahlah, aku merasa akan meninggalkan mereka semua. Rasanya aku sangat lelah dengan hidupku sendiri. Setelah selesai, surat itu aku titipkan pada Bi Nilam. Aku pun berangkat menuju rumah sakit untuk segera menjalani operasi.

Ruang itu terasa begitu menakutkan. Semua benda yang kulihat hanyalah jarum suntik dan gunting. Alat-alat yang terlihat menakutkan bagiku. Aku dibawa lebih dulu ke ruang ini, agar tidak ada yang tahu siapa aku sebenarnya. Posisiku dan Api dipisahkan oleh dinding pembatas. Hingga akhirnya aku dibius, dan kurasakan semuanya gelap.

.
.
.

Beberapa hari kemudian...

"Akhirnya kamu sembuh juga, Sayang. Bunda khawatir sekali sama kamu semenjak kamu di operasi. Untung ada pendonor itu," ucap Bunda dengan penuh kasih sayang.

Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang