Chapter 3

765 104 7
                                    

Sarapan pagi kali ini ada tambahan anggota, tidak lain bersama keluarga Yaya. Dua pasang orang tua kini sangat asyik berbincang dengan topik 'Api dan Yaya'. Mereka terus membanggakan anaknya. Dan aku menulikan diri dan melahap terus roti berselai cokelat.

Persetan dengan mereka, aku terlanjur sakit hati. Sikap tak acuh Yaya kemarin membuatku terluka. Padahal dulu kita betiga— dengan Api —begitu dekat dan sering bermain bersama, tidak ada namanya mengasingkan di antara kami. Oh iya, itu 'kan dulu.

Kunyahanku terhenti mendengar rencana perjodohan Api dan Yaya. Padahal aku juga ada rasa pada gadis itu. Orang yang kusayangi pun kau rebut juga, Api. Kenapa tidak kau sekalian rebut nyawaku kalau begitu? Biar semuanya jadi milikmu.

***

Hari yang ditunggu akhirnya tiba, perlombaan renang tingkat nasional. Aku terpilih menjadi perwakilan dari sekolah.

Berharap ada yang hadir melihatku, tapi hasilnya nihil. Lagi-lagi Ayah dan Bunda lebih memilih datang ke pertandingan sepak bola Api. Tak apa, akan kubuktikan bahwa aku juga bisa berprestasi meski tak ada dukungan.

Walau sainganku berat, aku tak mau menyerah begitu saja. Setidaknya jangan sampai mengecewakan diriku sendiri.

.
.

Riuh tepukan tangan terdengar saat aku naik ke podium paling atas, juara satu. Wajah para penonton berhiaskan senyuman sumringah. Benar, aku berhasil menjuarai perlombaan renang gaya bebas. Di sini aku merasa begitu dihargai.

Namun, sampai di rumah suasananya jadi berubah. Saat kuletakkan foto keberhasilanku di lemari kaca ruang tamu, Api langsung mendorongku disertai tatapan penuh benci dan berlalu pergi ke kamarnya. Aku hanya mengernyit heran. Memang apa salahku?

Ayah dan Bunda yang datang bersama Api langsung memarahiku tanpa tahu apa sebenarnya kesalahanku. Karena biasanya mereka tidak menghiraukanku.

“Kau sengaja meledek Api, 'kan?” tanya Ayah sinis.

“Bukan begitu, Yah! Maksud Ayah apa, sih?” tanyaku tak mengerti.

“Api kalah, sedangkan kamu menyombongkan diri dengan memajang fotomu di ruang ini. Kamu tahu kan bahwa di ruang ini hanya foto-foto keberhasilan Api yang boleh menempatinya?!” jawab Ayah yang membuatku sangat kecewa.

“Lepas fotomu!” ucap Bunda ketus padaku.

Kulepas foto yang sangat aku harapkan menjadi penghubung agar keluargaku menyanjungku. Sebuah harapan yang sejak dulu selalu ku inginkan. Karena aku selalu iri di setiap Api dipuji dan disanjung oleh Ayah dan Bunda, serta semua tamu yang pernah berkunjung ke rumah. Sekarang pertanyaan terbesarku adalah,

Apakah aku anak kandung kalian? Bunda? Ayah?’

Pertanyaan yang tak pernah terjawab oleh lisan, namun terjawab oleh perbuatan mereka padaku. Seorang anak yang selalu tersingkirkan oleh ketidakadilan.

Let Me GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang