第三部分

444 72 28
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


          LANGIT GELAP menggantung di luar jendela.  


Aku sudah meringkuk di atas ranjang, tubuhku terbungkus selimut tipis, meninggalkan ruang makan yang masih ramai dengan kehadiran kakak perempuanku yang lagi-lagi mengomel, melontarkan kalimat-kalimat tajam yang menudingku sebagai pemalas karena pergi begitu saja tanpa ikut membereskan meja makan. Dia mungkin lupa bahwa aku lelah, atau mungkin tidak peduli. Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang menarik perhatianku—sebuah ketukan pelan terdengar dari arah jendela, membelah keheningan yang baru saja mulai terasa damai.


Jantungku berdegup sedikit lebih cepat. Siapa yang datang di tengah malam seperti ini? Aku mengernyit, mendekati kaca jendela dengan perasaan tidak menentu. Ketika kubuka tirai, mataku bertemu dengan sosok pucat yang familiar, berdiri kaku di luar, dibalut malam dan bintang-bintang yang bersinar samar.


"Yoongi?" tanyaku ragu, seolah menegaskan apa yang kulihat dengan jelas. Aku membuka jendela sedikit, angin malam yang dingin menyelinap masuk, menyeret perasaan aneh yang tak bisa kujabarkan.


"Aku tidak datang lagi," katanya membuatku bingung.


Aku mengerutkan kening, merasa tak siap dengan pernyataan yang terlontar begitu saja dari mulutnya. "Apa maksudmu?" tanyaku, nada suaraku penuh kebingungan, menggantung di udara malam.


"Besok ulang tahunku," katanya, tetapi nadanya tidak menunjukkan kebahagiaan. Tidak ada euforia, tidak ada kegembiraan seperti yang biasanya datang dengan perayaan. Ucapannya begitu hampa, kosong, seperti tidak berarti apa-apa.


"Oh... itu sebabnya?" Aku mencoba tersenyum kikuk, mencoba memahami situasi yang entah kenapa terasa berat. "Baiklah... Selamat ulang tahun, Yoongi! Nikmati harimu yang spesial," tambahku, berharap dapat meringankan suasana.


Namun, dia hanya menggeleng pelan, matanya menatap kosong. "Kamu harus datang," katanya lagi, kali ini suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan yang diseret angin malam. Ada sesuatu di balik permintaannya yang membuatku merasa aneh.


Aku mengerjap, kebingungan kian merayap. "Ke mana?" tanyaku, suaraku tersendat. Jantungku mulai berdebar tidak menentu, menyadari bahwa ada sesuatu yang Yoongi simpan rapat-rapat di balik wajah tenangnya. Dia tidak menjawab, tapi tatapan matanya belum cukup menjelaskan semuanya. Aku mencoba menebak ke mana harus pergi.


Tadi sore, ketika melintas di depan rumah besar di ujung kompleks, aku sempat melihat beberapa mobil mewah parkir di halaman. Orang tuanya barangkali sudah kembali dari perjalanan panjang mereka. Besok pasti akan ada perayaan ulang tahun besar, penuh dengan tamu-tamu penting.

𝐉𝐮𝐥𝐢 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐏𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang