第二部分

389 76 24
                                    

          SUDAH TIGA minggu berlalu sejak anak laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai Min Yoongi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




SUDAH TIGA minggu berlalu sejak anak laki-laki itu memperkenalkan dirinya sebagai Min Yoongi. Nyaris setiap hari, dia datang berkunjung, menyandarkan sepeda kotor miliknya di pagar dinding sebelah kanan rumahku, sebuah beton pembatas yang kebetulan berdampingan dengan lahan kosong bertabur rumput liar. Tempat itu tampak seperti ladang gandum yang siap panen, membentang hijau di bawah sinar matahari.


Kami sering menghabiskan waktu di teras, tempat di mana cerita sederhana kami menggema. Aku selalu menawarkannya sepiring semangka manis, namun sepiring itu belum pernah dia sentuh. Seolah rasa manis buah itu tidak mampu menembus pembatas tak kasat mata di antara kami.


Siang ini kuletakkan lembaran monopoli di atas karpet. Kami lalu bermain sampai hampir petang. Sering kudapati kakak perempuanku mengintip dari sela-sela jendela. Dia mungkin sama penasarannya.


Belakangan baru kutahu Yoongi bersama anggota keluarganya merupakan penduduk pindahan dari Edinburgh. Kira-kira sekitar satu bulan yang lalu. Mereka sekarang tinggal di rumah besar yang berada di ujung kompleks. Ayahnya bekerja pada Sekretaris Negara untuk Urusan Luar Negeri, sementara ibunya adalah mantan dokter spesialis bedah. Yoongi punya adik perempuan yang menetap di London. Mereka tergolong keluarga yang berada, tetapi belum pernah kulihat Yoongi bermain dengan anak-anak lain di sekitar hunian megahnya. Setiap kali siang menjelang, dia datang ke rumahku, dan saat senja mulai beranjak menyisih, dia baru akan pulang, mengayuh sepeda lusuhnya dengan langkah perlahan, seakan ada beban berat yang turut dibawanya.


Selalu seperti itu.


Hari ini, pekarangan rumah seakan dibungkus keheningan. Orang-orang sudah berhenti dari kebiasaan menyiram tanaman di halaman rumah masing-masing, terik matahari membuat mereka enggan berlama-lama di luar. Kami menjadi satu-satunya yang memilih bertahan di teras, menantang panasnya cuaca yang menggerogoti.


Aku memanggilnya, berharap kali ini dia mau mengalah pada teriknya siang dan masuk ke dalam rumah. Tapi seperti biasa, Yoongi hanya menggelengkan kepala, menolak tawaran itu dengan keengganan yang sudah terlalu sering kuterima. Aku telah menawarkan berbagai hal—stoples kue kering berisi berbagai camilan hingga tumpukan novel tua yang berdebu di sudut rak, seolah cerita-cerita yang terlipat di dalam sana bisa menjadi magnet untuknya. Sayangnya, tawaranku selalu dibalas dengan senyum tipis dan kata-kata yang terdengar lembut namun penuh jarak. 'Lain kali, ya? Sekarang aku lebih nyaman di luar,' dia menanggapi dengan tidak nyaman, suara itu meluncur pelan seolah kata-katanya tersangkut dan mulai melukai tenggorokannya.


Ada sesuatu di balik penolakannya yang membuat pikiranku berputar-putar. Aku tentu tak bisa mengabaikan kemungkinan bahwa Yoongi mungkin saja merasa tidak nyaman ada di rumahku yang sempit dan biasa-biasa saja. Tidak ada yang spesial di sini selain dari hal-hal baru yang mungkin terlihat begitu kontras dengan kehidupan yang biasa dia jalani. Aku bisa membayangkan dunianya—tumbuh dalam lingkungan di mana segala sesuatu disiapkan dengan sempurna, sendok emas mungkin sudah berada di genggamannya sejak kecil, makanan yang disiapkan oleh koki profesional, ruangan yang sejuk berkat pendingin otomatis, perabot-perabot mengilap tanpa debu, semuanya jauh dari kesederhanaan yang kutawarkan. Di sini, di rumahku, hanya ada panas matahari yang masuk dari celah-celah jendela, karpet yang sudah mulai memudar warnanya, dan stoples kue kering yang tidak selalu penuh.

𝐉𝐮𝐥𝐢 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐏𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang