Butiran Salju

38 9 16
                                    

Sore itu salju turun dengan lebat, tetapi Chloe masih sanggup berjalan ke apartemen yang terletak tak jauh dari tempat kerjanya. Gadis itu membenarkan syal cokelat yang melilit di leher. Sudah lama ia tak menikmati butiran es yang turun dari langit dengan begitu gembira.

Gadis itu membenci musim ini, entah sejak kapan. Namun, bersama lelaki itu salju bahkan terasa begitu menghangatkan. Chloe melangkahkan kaki memasuki kafe yang cukup ramai. Aroma kopi yang baru saja dituang ke gelas menguar ke penciuman sang gadis. Ia berjalan ke arah meja yang berada di sudut ruangan, tempat favoritnya.

Menunggu kedatangan sang lelaki adalah hal kesukaan Chloe yang lainnya. Gadis itu tersenyum kala pramusaji memberikan secangkir latte. Netra sang gadis melirik ke arah jalanan, memorinya melayang mengingatkannya pada cinta pertama.

*****

Helaan napas terdengar jelas oleh telinganya sendiri kala ia melihat buliran salju yang masih menumpuk di sepanjang jalan. Kejadian itu masih tergambar jelas dalam memori. Sepanjang hidupnya Chloe tak pernah membenci salju, tidak hingga hal itu merenggut semua hal yang ia sayangi.

"Double espresso untuk gadis manis yang sejak tadi duduk sendirian di sini."

Suara riang itu menggelitik telinga Chloe, tetapi tak mampu mengalihkan pandangan netra cokelat sang gadis untuk beralih dari jalanan. Lalu lintas kendaraan di sana lebih menarik dibandingkan suasana di kafe yang sudah berdiri sejak sepuluh tahun lalu.

"Mengapa tidak memesan latte? Atau sesuatu yang lebih manis dari espresso?"

Chloe terdiam sejenak. Ia sengaja datang ke sini dan duduk di sudut ruangan karena ingin mencari ketenangan bukan malah diganggu seperti ini. Sore itu suasana kafe memang cukup sepi, hanya ada satu atau dua meja yang terisi. Namun, bukan berarti lelaki ini berhak mengganggunya.

"Aku sering melihatmu duduk sendirian sambil menatap ke arah jalanan. Apa yang begitu menarik hingga kau terus menatapnya?"

Gadis itu menghela napas kasar. Ia melirik ke arah pramusaji tersebut dengan rahang yang mengeras. "Tidak bisakah kau diam? Dan tolong, tinggalkan aku sendiri!"

"Aku Lucas, salam kenal. Semoga kita bisa menjadi teman baik." Lucas memberikan selembar tisu ke arah Chloe. Ia tersenyum kemudian melangkah pergi ke arah dapur.

Chloe hanya bisa mengerutkan alis bingung. Ia membuka tisu tersebut yang ternyata di dalamnya terdapat tulisan sederhana.

Senyummu itu manis seperti latte.

Gadis itu tertegun. Pandangan matanya perlahan mengabur. Kalimat sederhana yang mampu membuat dadanya terasa berat. Chloe meremas tisu tersebut, memasukkannya ke dalam jaket. Ini hanya kebetulan.

*****

"Jangan terus mendiamkanku seperti ini, Chloe. Sudah hampir satu bulan kita seperti orang asing." Eve menarik tangan kakaknya kala gadis itu berjalan begitu saja melewatinya.

"Aku sedang tak ingin berdebat denganmu. Aku lelah." Chloe menepis tangan Eve tanpa melihat ke arah wajahnya. Ia belum bisa melupakan kejadian yang merenggut kedua orang mereka.

"Aku juga tak ingin orang tua kita meninggal!"

Chloe tertegun. Mereka baru saja kehilangan kedua orang tua yang begitu mereka sayangi, tepat satu bulan yang lalu. Semua terjadi begitu cepat hingga gadis itu bahkan tak mampu mengingat dengan jelas.

"Kau tak bisa terus menyalahkan aku hanya karena mereka menyelamatkanku dari kecelakaan itu. Aku tak pernah memintanya. Aku tak pernah minta diselamatkan!" Air mata Eve menggenang. Ia menggigit bibir bawah, menahan sesak yang semakin mendesak ingin dikeluarkan. "Jika aku bisa memilih, lebih baik aku yang mati daripada kedua orang tua kita!"

"Jika itu memang yang kau inginkan, silakan saja." Chloe menjawab dengan wajah datar. Ia berjalan ke arah kamar lalu menutup pintunya rapat. Gadis itu menghela napas pelan. Air matanya menetes dari sudut netra. Chloe mencoba untuk tegar dan kuat, tetapi ia hanyalah gadis rapuh yang mudah sekali hancur.

Eve adalah anak yang ceria. Ia begitu dekat dengan kedua orang tua mereka dan juga selalu dimanja. Chloe tahu, tak seharusnya ia menyalahkan gadis itu.

Kala itu salju turun dengan lebatnya. Eve dan kedua orang tua mereka sedang menuju ke kafe. Gadis itu menyebrang jalan, ingin segera menghampiri Chloe yang menunggu di sebrang. Namun, tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah sedan melaju dengan kencang dan kedua orang tua mereka dengan refleks mendorong Eve untuk menyelamatkan nyawa gadis itu.

Chloe tahu, itu semua bukan kesalahan Eve. Kecelakaan itu adalah takdir yang tak bisa ia ubah. Ia hanya mencari pelampiasan karena sebenarnya gadis itu menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang telah terjadi.

****

"Double espresso untukmu, Chloe." Lucas tersenyum lalu duduk di depan gadis itu. Jam kerjanya sudah selesai dan ia bisa sedikit bersantai sekarang.

Chloe menatap Lucas yang sudah berganti pakaian. Lelaki ini cukup cukup tanpa seragam pramusajinya. "Dari mana kau tahu namaku? Dan aku tidak memesan minuman itu."

"Ini hadiah dariku. Setidaknya bisa menyegarkan pikiranmu yang sedang kalut."

Gadis itu menyeringai. Ia kembali menoleh ke arah jalanan. "Kau berbicara seakan sudah mengenalku sejak lama."

"Aku sangat mengenalmu ...." Lucas menyilangkan kedua tangan, menatap Chloe dengan penuh kelembutan. "Aku mengenal kedua orang tuamu, terutama ayahmu."

Chloe menoleh ke arah Lucas. "Jangan bercanda."

Lucas menggeleng. "Aku tahu kau bersedih karena kecelakaan yang menimpa kedua orang tuamu. Kau merasa bersalah karena selama ini kau tidak begitu dekat dengan mereka."

"Jangan sok tahu! Kau bahkan tak mengenalku!"

Lelaki di hadapannya tersenyum tipis. "Percayalah, aku sangat mengenalmu. Karena aku pernah merasakan apa yang kau rasakan. Kehilangan seseorang yang begitu berharga dan merasa bersalah karena kau tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersamanya."

Chloe tertegun. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali berbicara dan menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya sebelum mereka meninggal. Pandangan gadis itu perlahan mengabur. Orang asing di depannya ini mampu menyentuh bagian paling rapuh dalam dirinya.

"Kau tak perlu menyalahkan dirimu sendiri atas apa yang terjadi. Ini bukan kesalahanmu dan kau tahu itu. Yang kau perlukan hanyalah mengikhlaskan atas apa yang telah terjadi."

"Tapi aku ...."

"Ayahmu sering datang ke kafe ini setiap pagi. Ia sering sekali bercerita tentangmu dan Eve. Percayalah, Daniel sangat menyayangimu."

Bulir bening itu akhirnya menetes dari sudut netra gadis itu. Beban yang selama ini ia tanggung, kesedihan yang dipendam dalam hati akhirnya bisa dibagi. Bukan kenangan manis atau indah yang dapat sang gadis ingat tentang cinta pertamanya. Namun, bagaimana cinta pertama itu akan selalu hidup dalam hatinya meski raga sang ayah telah tiada.

*****

"Sayang, sedang melamunkan apa?"

Kecupan hangat di pipi Chloe menyadarkan lamunan. Ia menoleh lalu tersenyum hangat ke arah Lucas. "Sedang memikirkanmu."

"Wah, sepertinya aku sedang beruntung." Lucas memeluk tubuh Chloe lalu mengusap punggungnya perlahan. "Tak terasa, sudah hampir setahun orang tuamu meninggal. Mereka pasti sangat bangga pada kalian berdua."

Chloe mengangguk sambil mengeratkan pelukan. Bersama lelaki ini, ia akan selalu bisa mengingat cinta pertamanya.

Soul - The Journey of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang