Motor Vespa Abu abu itu melesat pergi menjauhi Cafe Brandon, lalu membelah jalan raya yang dipadati manusia berkendara. Sehingga matanya tak sengaja menangkap dua insan yang sedang tertawa ria juga melakukan kontak fisik.
Karena penasaran dengan salah satunya, Vero, menancapkan gasnya berbelok ke sebelah kiri jalan raya, yang terdapat caffe setara dengan caffe Brandon. Memang, dia daerah ini, banyak sekali tempat ngumpul yang berderet di jalan raya.
Vero telah memarkirkan motor vespa abu abunya itu di tempat yang telah disediakan. Dia memasuki caffe itu dengan tangan terkepal. Mengapa? Karena laki laki yang sedang tertawa bersama lawan jenisnya itu sangat Vero kenali. Dari rambut, dan setelan kerja yang sering laki laki itu pakai.
Iya, laki laki tersebut adalah ayah Vero, Glenelsen Alterio.
Vero menghampiri meja ayahnya, dan langsung menggebrak dengan suara yang keras, sehingga membuat pengunjung lain menengok ke arahnya. Emosi Vero meluap luap, bagaimana tidak? Ayahnya sedang bercanda ria dengan sekretaris nya sendiri. Dengan usia yang cukup jauh.
"OH JADI INI ALESAN YANG SEBENERNYA. TERNYATA AYAH GA KELUAR KOTA. JUSTRU AYAH MAIN DIBELAKANG SAMA JALANG INI! MAKSUDNYA APA SIH YAH?!" cecar vero menggebu gebu, tak perduli dengan bisikan orang orang tentang ia dan ayahnya. Dia hanya mengeluarkan semua yang dia pikirkan. Pantas saja akhir akhir ini ayahnya selalu meminta izin keluar kota untuk mengurusi pekerjaannya, namun apa yang dilihat vero sekarang? Laki laki yang sangat dia sayangi justru menghianati keluarganya.
"VERO BENER BENER KECEWA SAMA AYAH! AYAH GAUSAH PULANG LAGI KERUMAH! RUMAH ITU PUNYA MAMA KAN? IYA KAN?! SELAMA INI AYAH CUMA NUMPANG HIDUP DOANG SAMA MAMA!" Cecarnya kembali wajahnya bahkan sudah memerah, dan pandangannya buyar, menandakan air mata nya akan segera jatuh. Memang, rumah yang sekarang ia tempati adalah milik mamanya. Rumah tersebut diberikan oleh sang kakek, yang memiliki perusaan besar di Ibukota. Perusaan tersebut bernama Jaasir Group.
Kini tatapan Vero beralih kepada wanita berpakaian mini di hadapannya ini.
"DAN UNTUK LO JALANG! SELAMAT LO UDAH NGANCURIN KELUARGA GUE! GUE GABAKAL NGEBIARIN LO GITU AJA. GUE GABAKAL BIARIN LO BAHAGIA!" Kini Vero sudah melangkahkan kakinya menuju ke pintu keluar, namun baru beberapa langkah dia berbalik kembali.
"Dan untuk anda, saya tidak akan menganggap anda sebagai ayah saya lagi. Saya sudah tidak perduli!" Lanjutnya seraya menunjuk muka ayahnya, Glen. Dan dia langsung melangkahkan kaki panjangnya menuju pintu.
"Abel..." lirih Pak Glen sambil menatap kepergian putranya itu.
Kini vero telah sampai di depan rumahnya. Ia telah menekan klakson nya sebanyak 3 kali, lalu saat hendak menekan klakson uang ke 4 kalinya, pakdhe Anto berlari terbirit birit menuju pintu gerbang, dan langsung membuka pagar berwarna hitam menjulang itu.
"Eh maaf den tadi saya sedang--" perkataan Pakdhe Anto terpotong karena Vero langsung nyelonong masuk ke dalam rumahnya, ia tak memperdulikan Pakdhe Anto yang mengajaknya bicara. Pakdhe Anto yang melihat hal itu menatap sendu ke punggung Vero. Bukan, bukan karena obrolannya tidak ditanggapi, melainkan ia berfikir bahwa ada sesuatu yang terjadi pada tuan mudanya itu.
Vero bergegas masuk ke kamarnya. Setelah tiba di kamar yang didominasikan dengan warna navy itu, Vero langsung mengunci pintu dan berteriak seperti orang kesetanan. Ia membanting semua benda benda di dekatnya. Termasuk bingkai foto dia dan ayahnya. Ia tak perduli, ia benci dengan ini semua.
Raina, alias mama Vero,yang mendengar kegaduhan di kamar putranya langsung bergegas ke lantai dua menuju kamar Vero. Sesampainya di lantai dua, Raina melihat putrinya, Veri, sedang berteriak memanggil nama vero di depan kamarnya.
"Ada apa Sama Abel, Sav?" Lain ceritanya, jika Vero dipanggil Abel oleh mamanya, Veri justru dipanggil Save. Bukan 'sev' but, 'sa fe'.
"Gatau ma. Tadi sav, lagi dengerin lagu di kamar, tiba tiba Abel dateng ke kamarnya trus langsung nutup pintu kenceng banget, nah, dia langsung teriak teriak gajelas, sama mecahin barang barang." Jelas Veri.
"Ada apa sama anak ini." Reina menatap sendu ke arah pintu kamar berbahan kayu berwarna coklat gelap di depannya itu.
Tok tok tok.
"Abel, buka pintunya sayang. Kamu kenapa? Jangan diancurin barang barangnya. Buka pintunya ya sayang. Cerita sama mama, kamu kenapa? Abel??" Pinta sang mama dengan nada yang sangat lembut, dan juga berkaca kaca. Pasalnya ia tidak pernah melihat Abel sekacau ini, apalagi sampai memecahkan barang barang.
Tak lama pintu berwarana coklat gelap itu terbuka. Dan menampilkan wajah sang pemilik kamar. Wajahnya menyedihkan, mata memerah, wajah memerah, serta tangan yang terdapat banyak luka.
"Astaghfirullah abel! Ada apa sama kamu? Yatuhan!" Reina tak kuasa menahan tangisnya. Pecahlah semua kesedihan yang dibendungnya, bahkan ia tak kuasa melihat anak putranya itu.
"ABEL LO KENAPA BISA JADI KAYA GINI! KEKANAK KANAKKAN TAU GAK!" Bentak Veri yang juga sedang menahan air matanya agar tidak keluar. Sedangkan di lantai dasar, Pakdge Anto juga isrinya, sedang mendengarkan apa yang terjadi. Sesekali meringis mendengar keluh kesah keluarga ini.
"INI SEMUA KARNA AYAH! AYAH YANG BIKIN GUE JADI KAYA GINI VER! AYAH SELINGKUH SAMA SEKERTARISNYA! BILANGNYA DIA KE LUAR KOTA KAN?! PADAHAL DIA LAGI NGEDATE DI CAFFE!" Air mata Vero meluncur mulus di pelipis putih itu. Dia tak kuat mengingat kejadian tadi. Dia sangat lemah jika menyangkut kedua orang tuanya.
"A-apa?" Ucap Raina lemah, bahkan terdengar seperti gumaman. Raina tak percaya dengan ini, suami yang sangat dicintainya tega bermain dibelakang? Mata Raina mulai menutup, ia langsung ambruk ke lantai.
"MAMA!!" Pekik kedua anak kembar itu.
"Masya allah nyonya Raina, bangun nyonya."
Ucap Budeh Tina, dengan tangan yang sibuk menepuk pelan pipi nyonya nya itu. Dia dan suaminya mendengar semuanya, bahkan sekarang Budhe Tina tengah meneteskan air matanya, ia tak tega dengan keluarga ini."PAKDHE SIAPIN MOBIL SEKARANG!" Suruh Vero dengan emosi yang sudah tak terkendali.
"Iya den."
Vero segera membopong Raina dengan bridal style, menuruni tangga, dan tergopoh gopoh memasuki mobil.
"Budhe Tina jaga rumah aja, kita gabakal lama kok." Ucap Veri halus, seraya menunjukkan senyum tipisnya.
"Iya non, hati hati." Air mata budhe Tina kembali menetes yang kesekian kalinya. Ia sungguh terpukul dengan kejadian tiba tiba ini. Walaupun dia hanya pembantu disini, tetapi keluarga Alterio, sudah termasuk bagian dari hiudpunya. Apalagi nyonya besarnya.
Kini mobil berwarna hitam itu melaju dengan kecepatan rata rata menuju rumah sakit terdekat. Di dalam mobil, kedua anak kembar itu tak berhenti berdoa kepada Sang Maha Kuasa, untuk sang mama.
|||t b c 💘
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
Teen FictionDia berbeda dari yang lain. Dia lembut namun tidak lemah. Dia berisik namun nengundang tawa. Dia baik namun tidak ditunjukkan. Dia berarti namun tak sadar. Ini semua tentang dia. Dia yang mengundang tawa. Dia yang mengundang bahagia. Dia yang mengun...