Pagi, Dears! ^^
Apa kabar? Kalian sehat?
Hara update kembali cerita Aira. Semoga bab ini bisa menghibur kalian.
Jangan lupa vote sebelum membaca dan komentar di akhir cerita.
Kalian juga bisa share dan rekomendasika cerita ini ke teman-teman kalian biar teman kalian juga ikut baca.
So, happy reading!
***
"Evan sering lembur bareng Mas Haikal. Sejak Hamas lahir, Mas Haikal memindahkan beberapa pekerjaannya untuk dia kerjakan dari rumah. Mereka diskusi sampai larut. Apalagi saat ada proyek baru yang mereka tangani seperti sekarang. Karena tidak mungkin membiarkan Evan pulang, kami meminta dia menginap."
Itu adalah jawaban gamblang yang Dania berikan pada Aira terkait keberadaan Evan di rumah lama mereka. Namun, Aira masih tidak habis pikir kenapa Evan bisa menempati kamar lamanya. Memangnya, rumah mereka sudah kekurangan kamar?
"Kamar lama Kakak sedang Mas Haikal renovasi untuk dijadikan kamar si kecil. Sedangkan satu-satunya kamar tamu sudah lebih dulu kami jadikan arena bermain anak sejak Kakak hamil. Jadi, satu-satunya kamar kosong yang ada hanya kamarmu, Aira."
Lagi-lagi Dania memberikan jawaban jitu. Semua yang Dania katakan memang benar. Aira melihat dan sendiri bagaimana kamar tamu sudah bertransformasi menjadi arena bermain anak. Beberapa bagian memang sengaja dibongkar dan direnovasi sedemikian rupa. Kendati demikian, tetap saja Aira masih janggal tentang Evan yang sama sekali tak merasa sungkan saat menempati kamarnya. Baik Evan dan Aira tahu kalau kamar itu adalah saksi bisu bagaimana mereka pertama kali ....
Aira segera memukul kepalanya dengan sebelah tangan guna menghilangkan kenangan masa lalu yang mencoba menyeruak masuk. Semua yang sudah berlalu biarlah dia kubur dengan bergulirnya waktu. Cukup dia, Evan, dan Tuhan saja yang tahu. Jika waktunya telah tiba nanti, Aira ingin Ardi tahu lewat ceritanya langsung.
"Kamu tidak apa-apa, Dek? Kepala kamu pusing? Istirahat saja di kamar. Atau kamu mau Kakak telepon Ardi biar dia jemput ke sini?" Dania tiba-tiba bergabung dengan Aira yang sedang mengajak Hamas bermain. Beberapa waktu lalu, dia memang membiarkan Aira memonopoli Hamas, sementara dia sibuk di dapur menyiapkan sarapan sang suami.
Aira terkesiap. Dia menggeleng cepat agar kabur khawatir di riak wajah Dania menghilang. "Tidak, Kak. Aku tidak apa-apa. Nanti biar aku saja yang telepon Ardi kalau aku sudah mau balik. Lagi pula, Ardi sedang menemui profesornya di rumah sakit. Dia mungkin temu kangen dengan beberapa temannya juga. Aku tidak mau mengganggu dia," jelas Aira.
Dania mengangguk paham. "Baiklah kalau begitu. Bawa ke sini Hamasnya! Sudah waktunya dia minum ASI." Dia mengulurkan kedua tangan hendak mengambil alih Hamas dari timangan Aira. "Kalau kamu mau sarapan, Kakak sudah siapkan di meja makan," sambungnya.
Dengan hati-hati Aira mengangsurkan Hamas ke dekapan Dania. Kemudian ditatapnya lamat balita yang tak pernah rewel itu. Tak sedetikpun Aira memutus pandang untuk sekadar mengamati Hams yang sedang antusias menikmati ASI-nya. Mata bulat Hamas terliht berbinar jernih menatap Dania.
"Dek, kok bengong? Sana sarapan dulu!" tegur Dania.
"Nanti saja, Kak. Aku lagi pengin dekat Hamas terus. Waktu dia lahir, aku belum di sini, 'kan? Tapi waktu aku lihat dia di rumah kemarin siang, aku langsung jatuh cinta sama anak ini." Aira menyelipkan telunjuknya ke telapak kiri Hamas. Bocah itu pun langsung menggenggam telunjuk Aira yang sengaja digoyang-goyangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOO LATE TO FORGIVE YOU | ✔ | FIN
RomanceAira pernah terpuruk. Cintanya yang terlalu besar pada Evan pernah membuatnya gila ketika pria itu memilih meninggalkannya demi menikahi wanita lain. Dalam masa kelam itu, Aira tidak menemukan sebuh kewarasan selain mati untuk mengakhiri rasa sakit...