"Hujan nya deras Mi, kita pulangnya gimana?" Tanya Kak Hina.
Aku menoleh, "gausah pulang, kita main hujan-hujanan aja disini."
Ya tepat, aku sangat suka hujan.
Karena saat hujan aku bisa menangis sepuasnya, meluapkan emosiku lewat tetesan air mata yang tersamarkan.Tanpa berlama-lama aku turun dari halte menuju jalan raya yang penuh dengan air hujan ini.
Aku merentangkan tanganku, memejamkan mata, dan berputar badan dibawah hujan.
"Lami! Nanti kamu sakit! Kaka gasuka kamu main hujan." Pekik Kak Hina.
"Gapapa kak, aku suka."
Oh ya, aku lupa mengungkapkan jika temanku bisa dihitung hanya dengan satu tangan.
Aku sangat tertutup, tidak ada yang tertarik denganku, padahal tahun ini pertama aku masuk SMA, beda dengan kak Hina, dia kan kelas 11, dia juga anggota MD sekolah, dia famous.
"Kakak pulang aja, aku nyusul nanti, aku gak apa-apa kok." Teriakku.
"Kita harus pulang bareng Lami, kalo enggak nanti mama marah."
"Kapan mama marah karna hal ini? Aku gak pulang aja dia senang kali, dia gak memperhatikan aku." Ucapku santai.
Kak Hina tertegun, "serius kamu mau pulang telat?"
Balasku, kali ini lebih keras, "iya kakakku sayang!"
Kak Hina pergi meninggalkanku yang masih bermain hujan ini, huh childish!
---
Jujur saja, kata-kata yang tadi membuat kak Hina terkejut, aku juga sangat terkejut, kata-kata yang menggambarkan sikap seorang ibu yang sangat kasar.Aku gak tau salahku apa, yang jelas, semua yang kulakukan itu salah, aku terbiasa, santai saja.
Aku menapakkan kakiku dengan rasa takut, takut mama lihat. Tetesan air yang berasal dari baju basahku, membasahi tiap jalan yang kulewati.
"Darimana aja kamu? Jam segini baru pulang, mau jadi apa?"
Suara yang tak ingin kudengar, itu muncul lagi. Sungguh Tuhan, aku menyesal telah membantah kak Hina tadi.
"I-itu, aku a-ada kerja kelompok, jadi pulang larut, juga pas aku pulang, aku kehujanan, jadi bajuku bas-"
Plak!!
"Kamu gak sadar diri apa gimana? Bagus gak mama usir dari sini! Sana pergi!"
Tamparan, bukan fisik, kata-kata itu menyakiti hatiku, aku terenyuh didalam larutnya air mata.
"Ke-kenapa mama sejahat ini?"
Sekarang aku tak semangat melakukan apapun, aku hanya menulis buku harian, ah itu tidak penting. Hanya tempat pengaduanku, karna aku tak tahu harus mengadu pada siapa.
Tok-tok..
"Boleh Kaka masuk?" Tanya Kak Hina dari luar sepertinya.
Aku segera menyembunyikan buku nya, dan membukakan pintu untuknya.
"I-iya,"
"Lami," ka Hina langsung memelukku.
Ah, aku terenyuh lagi, tapi kali ini tidak boleh nangis, aku mandiri!
"Kakak minta maaf!"
Kata-kata yang keluar barusan, lagi-lagi membuatku meneteskan air mata.
Ya Tuhan, tolonglah jangan pisahkan aku dengan malaikat tak bersayap ini."Kakak lagi-lagi gabisa jagain kamu dari mama, maafin Kaka, lagi-lagi cuma bisa diem liat kamu ditampar tadi, Kaka nyesel." Katanya.
"Ka-kaka gak salah, memang a-aku yang gak mau dengerin kata-kata Kaka tadi, aku minta maaf banget." Balasku sambil mengeratkan pelukan.
Tuhan, aku mau melakukan apapun untuk orang ini, walaupun aku yang 'selalu' mengalah aku tak apa-apa.
Dia sudah seperti figur ibu, dia yang melindungiku dari sosok ibu yang sebenarnya.
Hatsyuu!~ *bersin
Huftt!! Flu sudah mulai menyerang, pasti karna main hujan-hujanan tadi:(
---
Matahari pagi memanglah memberi semangat untuk semua orang, tapi tidak denganku.Aku harus menjalani hari penuh kesakitan ini sendirian, tidak tahu seberapa sakit, semangat ku hanyalah satu, Hina. Dia satu-satunya alasanku melanjutkan hidup ini.
"Lami, kamu disuruh pak Xiumin untuk ambil buku titipan di perpustakaan." Kata Yiyang tiba-tiba menghampiri.
"Oh, baik." Aku segera memakai masker dan keluar kelas.
Aku berjalan melampaui lorong yang terasa kosong, hanya ada beberapa siswa saja, karna belum jam istirahat.
Dan pandanganku tertuju pada dua orang yang berada di ujung lorong, itu Kak Hina, tapi dia dengan seorang laki-laki, itu siapa?
"Ah, terimakasih, Sampai repot-repot begini." Kudengar perkataannya samar.
"Enggak kok, aku pergi dulu, bye." Ucap laki-laki itu tersenyum manis lalu pergi.
.
.
TBC:))
KAMU SEDANG MEMBACA
Kim Lami.
RomanceHallo, Aku Kim Lami. Aku hanya cewek biasa yang tidak punya ketertarikan, bahkan jumlah temanku bisa dihitung dengan satu tangan saja. Hanya kakakku yang menyayangiku, dia Hina. Tapi Justru aku malah merebut hal yang paling berarti baginya.